KOMPAS.com – Tanaman Bajakah yang diklaim bisa menyembuhkan kanker menjadi perbincangan dalam sepekan terakhir.
Hal ini diketahui setelah dua siswa asal SMA Negeri Palangka Raya meraih medali emas dalam World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan.
Namun, perlu sejumlah fase dan tahapan untuk memastikan bahwa bajakah memang bisa menyembuhkan kanker pada manusia.
Beberapa ahli mengingatkan agar tak terlalu dini menyimpulkan bahwa bajakah efektif sebagai obat kanker.
Dokter Walta Gautama Sp.B(K)Onk yang praktik di RS Dharmais, Jakarta, mengimbau masyarakat untuk tak melakukan penanganan di luar medis termasuk pengobatan herbal yang membuatnya tak menempuh pengobatan secara medis.
Baca juga: 5 Tanggapan Para Pakar atas Kontroversi Bajakah sebagai Obat Kanker
Ia mengingatkan, penanganan kanker tak bisa ditunda.
“Orang sakit kanker beda dengan orang sakit jantung ataupun penyakit lain. Orang sakit kanker kalau stadium tambah, angka harapan sembuh makin kecil, pengobatan makin kompleks,” kata Walta, saat dihubungi, Jumat (16/8/2019).
Pengobatan kanker, lanjut dia, sebaiknya dilakukan secara medis dan disesuaikan dengan jenis kanker yang diderita.
Walta menjelaskan, ada 2 jenis kanker yaitu padat dan cair/darah.
Penanganan keduanya juga berbeda. Kanker padat biasanya akan dilakukan pembedahan jika kondisi pasien memungkinkan.
“Kanker ada 2, ada padat dan cair (darah). Kalau kanker padat atau solid terapi utamanya selama memungkinkan dilakukan bedah, ya bedah!” ujar dia.
Sementara, untuk kanker darah, penanganan yang biasa dilakukan melalui aliran darah dan tak perlu pembedahan.
Baca juga: Keampuhan Bajakah Mengobati Kanker Dinilai Masih Terlalu Dini
Adapun, penanganan lainnya seperti radiasi, kemoterapi, hormonal, dan lain-lain ditentukan oleh banyak faktor.
Oleh karena itu, Walta mengatakan, masyarakat agar tak mudah percaya dengan iming-iming obat herbal yang diklaim bisa menyembuhkan kanker.
Penggunaan obat herbal sebagai obat kanker harus melalui serangkaian uji klinis dan tahapan.
Tahapan itu di antaranya uji laborat, percobaan binatang, dan manusia.
“Setelah itu baru lanjut ke manusia, aman enggak untuk manusia. Dilihat lagi itu (pengamatan organ) semua. Enggak bisa main sembarangan," kata Walta.
Ia menambahkan, dalam proses uji klinis, ada ketentuan tentang jumlah orang yang mengalami kesembuhan.
“Misal dari 10 orang ada 3 yang sembuh. Pertanyaannya kalau 100 orang berarti harus 30 orang. Kalau 1000 orang berati harus 300 orang. Tercapai enggak itu? Nah kalau enggak, dari 100 orang baru 6, berarti enggak boleh. Maka dianggap 6 orang itu bernasib baik karna statistiknya enggak sama,” jelas Walta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.