KOMPAS.com – Nama tanaman bajakah mendadak mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Tanaman ini dijadikan sebagai obyek penelitian dan digadang dapat digunakan sebagai obat kanker.
Namun, di balik gegap gempitanya sambutan masyarakat terhadap khasiat tersebut, ada kekhawatiran terhadap eksplorasi tanaman bajakah dan perlindungan hutan di Kalimantan.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Dimas N Hartono saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/8/2019). Melalui pesan singkat, Dimas mengatakan, perlu adanya peran pemerintah secara aktif dalam perlindungan terhadap kawasan tumbuhan obat.
Pendapat itu disebabkan tumbuhan obat di Indonesia merupakan keanekaragaman hayati yang harus terjaga dengan baik terutama dari sisi budaya masyarakat lokal serta habitatnya.
Baca juga: Heboh Bajakah Obati Kanker, Sudahkah Pemberitaan Kita Proporsional?
“Pemerintah harus aktif dalam perlindungan terhadap kawasan-kawasan yang terdapat tumbuhan pengobatan alternatif,” ungkap Dimas.
“Karena tanaman obat yang ada di Indonesia khususnya Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan keragaman hayati yang harus terjaga baik dari sisi budaya masyarakatnya dan kawasan yang harus terjaga,” sambungnya.
Dimas juga menilai ada ancaman dari eksploitasi dari perizinan pembukaan lahan sawit, tambang, serta industri kehutanan yang ada di Kalimantan. Apalagi, Indonesia selama ini dikenal sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
“Ancaman eksploitasi pasti ada, ancaman terbesarnya adalah eksploitasi dari perizinan yang timbul di sektor sawit, tambang, dan industri kehutanan,” kata Dimas.
“Karena dengan adanya perizinan tersebut maka tumbuhan obat yang ada di Kalteng akan musnah,” imbuhnya.
WALHI saat ini berkonsentrasi dalam upaya penanganan alih fungsi lahan dari perizinan industri untuk membuka lahan baru agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan dan hilangnya fungsi lahan bagi masyarakat.
Selain dari faktor perizinan pembukaan lahan, ada kekhawatiran adanya eksplorasi pihak korporasi dalam memanfaatkan tanaman obat menjdi komoditas komersil.
Dalam kesempatan terpisah, Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI menyebut bahwa ada bahaya apabila terjadi eksplorasi skala besar oleh pihak korporasi.
“Berbahaya kalau dijadikan komoditi komersial skala besar oleh kelompok korporasi,” ungkap Zenzi.
Beliau menyarankan agar dicanangkan program biodiversity dalam rangka perlindungan alam yang diawasi oleh masyarakat setempat.
“Perlindungan alam dan biodiversity mesti diikuti dengan inventarisasi praktik kearifan (pengobatan, pangan, tenure) masyarakat hukum adat yang terikat dengannya,” ujar Zenzi.
Baca juga: Bajakah untuk Obat Kanker, Apa yang Harus Dilakukan Usai Kehebohannya?