Oleh Diahhadi Setyonaluri*
KOMPAS.com - Bekerja di Jakarta itu berat. Selain jam kerja yang panjang, karyawan juga harus melaju dari dan ke tempat kerja dalam waktu yang cukup lama karena mereka harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta yang disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia.
Bagi ibu bekerja, tantangannya semakin berat.
Mereka harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Lantas mereka harus menitipkan anak kepada pengasuh atau orang tua mereka untuk kemudian menjejalkan dirinya ke dalam transportasi umum dan menantang kemacetan untuk berangkat bekerja.
Pada akhirnya, perempuan terpaksa harus berhenti bekerja karena tingginya biaya yang harus mereka tanggung, sebuah fakta yang ditemukan dalam riset-riset .
Salah satunya dialami oleh seorang responden kami bernama Nila.
Nila adalah ibu muda berusia 29 tahun yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun dan tinggal di Depok. Dia memilih berhenti bekerja.
“Saya letih berangkat pagi-pagi dari rumah dan tiba di rumah sudah sangat malam, ditambah saya masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga,” katanya. “Gaji saya hilang begitu saja karena pulang-pergi ke tempat kerja sangat mahal. Saya tidak melihat manfaat hasil kerja saya, lebih baik saya di rumah,” ujarnya memberikan alasan.
“Biaya bekerja” yang tinggi
Perempuan berhenti bekerja setelah berkeluarga adalah cerita yang sering ditemukan di Indonesia.
Baca juga: Komnas Perempuan Tegaskan, Kehamilan Remaja Hanya Beri Tekanan Fisik dan Psikis
Salah satu alasan mereka adalah mahalnya biaya melaju dari rumah mereka yang umumnya berlokasi di daerah pinggiran Jakarta menuju ke kantor mereka yang berada di tengah kota.
Biaya perjalanan ke tempat kerja di ibu kota cukup besar, terutama bagi keluarga muda kelas menengah yang umumnya memilih tinggal di pinggiran Jakarta karena harga rumah yang terjangkau.
Data Bank Dunia menunjukkan biaya transportasi di Jakarta mencapai 40 persen dari rata-rata gaji. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Cina, yang biaya transportasi hanya berkisar masing-masing 3 dan 7 persen dari rata-rata gaji.
Orang di Indonesia masih menempatkan urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab utama perempuan dan kepercayaan ini memperbesar beban ibu bekerja. Pada akhirnya, mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaannya.
Perempuan memiliki pola bepergian yang kompleks karena peran ganda tersebut. Dalam satu hari, perempuan bisa melakukan beberapa perjalanan, dari mengantar dan menjemput anak ke tempat penitipan anak (TPA) atau sekolah, berbelanja, dan berangkat/pulang bekerja.