Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/07/2019, 12:04 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com -Jefri Nichol ditangkap di kediamannya pada Selasa (23/7/2019) setelah diketahui menyimpan ganja sebanyak 6,01 gram di kulkasnya.

Penangkapan itu menjadi buah bibir. Publik berujar, kok bisa Jefri Nichol yang dikenal sebagai aktor yang baik, pernah membantu pemulung misalnya, menggunakan narkoba.

Meski demikian, dari perspektif sejarah, penangkapan idola remaja tersebut bukan soal ganjanya, tetapi lebih ke persoalan zaman.

Di Indonesia, pernah ada masa di mana siapa pun bisa menghisap ganja - kadang dicampur dengan rokok serta dilinting dengan daun pisang - di warung tanpa ditangkap.

Itu terungkap di publikasi Transnational Institute berjudul "Cannabis in Indonesia: Patterns in Consumption, Production, and Policies."

Publikasi yang mengutip sejumlah dokumen kuno itu menyatakan, saat Belanda datang, ganja sudah umum ditanam dan dicampur bersama rokok di wilayah Sumatera, terutama Aceh.

Hingga abad ke-19, ganja belum dikenal luas di Jawa. Namun demikian, ada indikasi bahwa ganja sebenarnya juga ditanam di Jawa. Buktinya, ada sebutan ganja, gandja, dan genji.

Baca juga: Jefri Nichol Ditahan karena Ganja, Obat Ini Berisiko Picu Skizofrenia

Menurut dokumentasi Belanda, banyak orang mencampur ganja dengan tembakau untuk dilinting dengan daun pisang dan menjadikannya rokok.

Deskripsi tentang ganja dalam buku HE Rumphius berjudul Herbarium Amboinense.Transnational Institute Deskripsi tentang ganja dalam buku HE Rumphius berjudul Herbarium Amboinense.

Pakar botani Belanda GE Rumphius dalam bukunya Herbarium Amboinense (terbit tahun 1741) mendeskrispsikan ganja sebagai spesies Cannabis indica.

Ia menuliskan bahwa ganja biasa diseduh bersama teh, dipakai untuk mengobati rasa sakit hingga penyakit kelamin macam gonorhea.

Rumphius juga mendeskripsikan bahwa dalam komunitas Muslim, ganja dirokok untuk menghasilkan efek khayal, sedih, dan melankoli.

Yang lebih di luar dugaan, pada awal abad 19, iklan rokok umum dijumpai di koran-koran Belanda. Dalam iklan, ganja disebut bisa mengobati beragam penyakit.

Sejumlah penyakit yang disebut bisa diobati dengan ganja antara lain asma, batuk, gangguan tenggorokan, dan sesak nafas.

Baca juga: Manusia Telah Isap Ganja Sejak 2.500 Tahun Lalu

Iklan rokok itu biasa dibuat untuk segmen orang Belanda di Indonesia. Sementara oleh "pribumi" sendiri, misal Aceh, ganja dijanjikan bisa mengobati diabetes.

Iklan ganja pada koran Belanda abad 19. Ganja dinjanjikan bisa mengobati asma.Transnational Institute Iklan ganja pada koran Belanda abad 19. Ganja dinjanjikan bisa mengobati asma.

Upaya mengilegalkan ganja baru dimulai pada 1912. Saat itu, para ilmuwan menggelar Opium Conference di Den Haag, Belanda. Konferensi itu membahas "penyalahgunaan ganja".

Baca juga: Jefri Nichol Ditangkap karena Ganja, Foto MRI Tunjukkan Otak Pemakai Zat ini

Di Indonesia, ganja baru diilegalkan tahun 1927, saat Hindia Belanda mengadopsi Verdoovende Middelen Ordonnantie (Dekrit Narkotika) yang dibuat Negeri Belanda.

Jadi, seandainya saja Jefri Nichols hidup pada abad 18, dia takkan ditangkap polisi. Merokok ganja wajar saja ketika itu.

Saat ini, Washington pun melegalkan pemakaian ganja secara terbatas untuk tujuan rekreasi. Batasannya adalah 8 gram. Jumlah yang dimiliki Jefri adalah 6,01 gram.

Kanada lebih bebas lagi. Mereka telah melegalkan ganja untuk tujuan medis sejak tahun 2001 dan untuk tujuan rekreasi sejak 2018.

Baca juga: Penelitian Baru: Bahaya Ganja Pada Otak Remaja Dilebih-lebihkan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau