Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Jantung Anak di Indonesia Lebih Langka dari Badak Sumatera

Kompas.com - 18/07/2019, 18:05 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Jumlah dokter yang mampu menangani penyakit jantung bawaan pada bayi dan anak di Indonesia hanya 50-60 orang.

Sebagai perbandingan, populasi badak sumatera di alam liar 300 individu. Artinya, dokter jantung anak lima kali lipat lebih langka daripada satwa yang dilindungi tersebut.

Minimnya jumlah dokter anak di Indonesia ini diungkapkan oleh ahli jantung anak RSAB Harapan Kita serta Ketua Kelompok Kerja Kardiovaskular Ikatan Dokter Anak Jakarta Raya (IDAI Jaya), dr. Winda Azwani, Sp.A(K), dalam Forum Diskusi Philips “Atasi Penyakit Jantung Bawaan Pada Anak Sejak Dini” di Jakarta, Rabu (17/7/2019).

Padahal, penyakit jantung bawaan (PJB) bukan penyakit langka. PJB malah merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi di Indonesia.

Baca juga: Mengenal Penyakit Jantung Bawaan, Kelainan Bawaan Paling Umum di Indonesia

Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2004 mengungkapkan bahwa 7-8 bayi per 1.000 kelahiran menderita PJB. Artinya, ada sekitar 50.000 bayi yang lahir dengan PJB setiap tahunnya, dan 20.000 di antaranya membutuhkan penanganan.

Permasalahan ini diperberat dengan minimnya ketersediaan alat dan bahan medis yang dibutuhkan untuk melakukan intervensi PJB. Alat-alat dan bahan ini harus diimpor dari luar negeri sehingga banyak rumah sakit belum mampu untuk melakukan intervensi. Lalu kalaupun mampu, tarif untuk melakukan penanganan PJB sangatlah mahal.

“Berdasarkan jenisnya, PJB dapat dibagi menjadi dua, yaitu PJB sederhana dan PJB komplek. PJB sederhana terjadi jika bayi mengalami 1 lesi (keadaan abnormal) pada jantung,sedangkan PJB kompleks adalah penyakit jantung dengan lebih dari 1 lesi dan komplikasi lainnya,” jelas Winda.

“Untuk penanganan PJB sederhana, beberapa kota besar lainnya (di luar Jakarta), seperti Medan, Bandung, dan Makassar, sudah memiliki fasilitas untuk menanganinya. Namun, penanganan PJB kompleks saat ini hanya dapat dilakukan di dua lokasi, yaitu Jakarta dan Surabaya saja,” imbuhnya.

Alhasil, tidak mengherankan bila data yang dikumpulkan oleh Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sepanjang 2013-2017 menunjukkan bahwa hanya 2.000 kasus PJB setiap tahunnya atau 10 persen yang mendapatkan intervensi bedah maupun non-bedah.

Baca juga: Alasan Antrian Operasi Jantung Anak di Harapan Kita Capai 1.100 Orang

Kepala Subdirektorat Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, dr. Asik Surya, MPPM sependapat dengan Winda bahwa angka tenaga kesehatan ahli yang mampu melakukan penanganan PJB di Indonesia masih kurang.

Jangankan dokter jantung anak. Jumlah dokter jantung dewasa di Indonesia saja masih belum memadai. Dokter Asik mengungkapkan bahwa prevalensi penyakit jantung di indonesia mencapai 1,5 persen populasi penduduk, sedangkan dokter jantung yang ada hanya sekitar 1.050 orang. Dengan kata lain, perbandingannya mencapai 1:250.000.

Ditambah dengan kecenderungan kurang lengkapnya alat pendukung penanganan jantung di daerah, 70 persen rujukan jantung pun menumpuk di Jakarta.

Dokter Asik mengatakan, itulah pentingnya strategi untuk menyusun pemberdayaan di daerah. Kalau bisa ditangani di daerah, ya (ditangani) di daerah saja.

“Untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan, perlu diciptakan sistem rujukan yang efektif sehingga penanganannya dapat dilakukan merata, tidak hanya berfokus pada daerah Jakarta,” kata dr. Asik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau