KOMPAS.com – Menstruasi adalah sesuatu yang dialami setiap bulannya oleh para wanita yang telah beranjak dewasa. Hal tersebut seharusnya menjadikan isu menstruasi sebagai pengetahuan umum yang dipahami oleh berbagai kalangan.
Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Dalam kampanye Manajemen Kebersihan Menstruasi yang bertepatan dengan Menstrual Hygiene Day di Jakarta, Selasa (28/5/2019); terungkap bahwa informasi yang salah mengenai menstruasi, termasuk bagaimana seharusnya menangani kondisi tersebut, masih sering dijumpai.
Berdasarkan temuan studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan oleh Plan Internasional Indonesia pada tahun 2018 terhadap siswa SD dan SMP di Provinsi DKI Jakarta, NTT, dan NTB, terdapat 63 persen orangtua murid yang tidak memberikan penjelasan yang benar dan gamblang terkait menstruasi terhadap anaknya.
Sebanyak 45 persen di antaranya merasa tidak perlu menjelaskan kepada anaknya karena menganggap hal tersebut tidak pantas atau tabu.
Baca juga: Misteri Tubuh Manusia, Kenapa Perut Kram saat Menstruasi?
Hal ini menimbulkan kepanikan pada anak perempuan, terutama saat pertama kali mengalami menstruasi. Di sisi lain, anak yang mengalami menstruasi juga rentan menjadi korban perundungan (bully) oleh kawan sebayanya, terutama anak laki-laki.
Kondisi ini dapat mengancam kesehatan reproduksi pada jangka panjang, karena mereka tidak mendapatkan edukasi mengenai bagaimana seharusnya menangani menstruasi.
Rata-rata, siswi yang tengah menstruasi memerlukan tiga kali pergantian pembalut per harinya, di mana salah satunya terjadi di sekolah.
Setelah membersihkan area kewanitaan, hendaknya mencuci tangan dengan sabun agar noda tidak menyerbar. Sisa pembalut yang telah terpakai pun harus dibungkus sebelum dibuang ke tempat sampah.
Sayangnya, hal demikian masih luput dari perhatian pihak sekolah, menurut hasil studi.
Baca juga: Ini Penjelasan Kenapa Payudara Suka Nyeri Saat Menstruasi
“Di daerah rural, anak-anak merasa risih mengganti pembalut di sekolah karena hanya ada satu toilet yang digunakan oleh ratusan siswa, sehingga ia pulang dan tidak melanjutkan sekolah,” ujar Silvi Devina dari Yayasan Plan Internasional Indonesia.
Kondisi ini sering dijumpai di kawasan pinggiran, di mana sebanyak 33 persen sekolah tidak memiliki toilet terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan.
Silvi juga menjelaskan bahwa terdapat mitos lokal yang menyesatkan mengenai menstruasi, seperti kebiasaan mengusapkan darah menstruasi awal pada wajah anak perempuan agar aliran darahnya lancar.
Tidak adanya sumber informasi yang benar untuk menjadi petunjuk bagi siswi juga mengakibatkan mereka rentan mengalami gangguan psikis dan menjadi malas atau takut ke sekolah pada saat terjadi menstruasi.
Baca juga: Menstruasi Bikin Perempuan Berubah? Penelitian Terbaru Membantahnya
“Tidak ada pengetahuan dan rujukan yang baik yang seharusnya didapatkan dari orangtua mereka. Sementara di sekolah juga fasilitas kebersihan menstruasi masih memprihatinkan dan tidak ramah perempuan,” jelas Laisa Wahanudin, Ketua Pelaksana Harian Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL).
Laisa menambahkan bahwa kurangnya pengetahuan dapat menimbulkan konflik sosial, karena siswi yang mengalami menstruasi mengalami perundungan saat darahya menempel di rok, sehingga menganggu aktivitas hariannya di sekolah.
Untuk menanggapi hal tersebut, Yayasan Plan Internasional Indonesia memberikan tiga rekomendasi.
Tiga rekomendasi itu adalah meningkatkan pemahaman berbagai pihak mengenai MKM; memfokuskan intervensi MKM di sekolah, terutama untuk menyiapkan siswi yang belum menstruasi; dan menjadikan MKM dan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kurikulum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.