Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Siasat Ahli Bahasa Menghindari Muslihat Debat Calon Presiden

Kompas.com - 17/01/2019, 07:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Surahmat

RENCANA debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia 2019 menyita perhatian masyarakat luas.

Calon pemilih tampaknya berharap forum itu bisa menjadi acuan untuk menetapkan pilihan.

Namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa forum debat rentan rekayasa. Hal ini didorong oleh keinginan para kandidat untuk mempesona calon pemilih. Mereka bermuslihat dengan menggunakan kata-kata untuk menonjolkan hal-hal baik meskipun belum tentu benar.

Sebagai pengamat bahasa, saya akan membedah cara-cara yang biasa digunakan para kandidat presiden dalam menjebak pemilihnya dan bagaimana kita bisa menghindari jebakan tersebut dengan berpikir jernih.

Debat penuh muslihat

Skandal debat (debategate) di Amerika pada 28 Oktober 1980 antara calon presiden Ronald Reagan dan Jimmy Carter, menjadi bukti bahwa debat tidak selalu menggambarkan kualitas gagasan dan pribadi calon pemimpin.

Sejumlah analis sepakat bahwa kemenangan Reagan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat waktu itu sebagai buah kesuksesannya memenangkan debat pada bulan Oktober.

Dalam debat itu, Reagan dinilai tampil lebih komunikatif. Ia dinilai mampu menjelaskan program dengan bahasa yang lebih membumi dan emosional. Meski lebih menguasai substansi persoalan, lawannya, Carter, dianggap kurang memiliki pesona panggung karena lebih banyak menggunakan istilah teknis yang kurang menggugah.

Namun penulis Laurence Barrett dalam buku Gambling With History: Reagan in the White House mengungkap bahwa Reagan ternyata melakukan kecurangan dengan mengantongi catatan Carter sebelum debat dimulai. Bocoran itu membuat Reagan tahu siasat yang akan dipakai Carter sekaligus tahu cara menghadapinya.

Kasus itu membuktikan, pemimpin dengan kualitas bagus tidak selalu unggul dalam debat dan sebaliknya. Dalam debat presiden lebih berlaku hukum panggung di mana orang yang terampil tebar pesonalah yang berpeluang menang. Siapa pun yang dapat menyiasati hukum panggung, dia berpeluang lebih besar untuk menang.

Bahasa adalah kunci

Hukum panggung yang berlaku pada debat presiden membuat keterampilan berbahasa jadi modal yang penting untuk memenangkan debat. Padahal keterampilan memainkan kata-kata bisa sama sekali tidak relevan dengan kecakapan mengatasi persoalan bangsa.

Dalam buku The Qualities of Effective Presidents, profesor politik Freed Greensteinndari Princeton University mengungkapkan ada enam kualitas yang harus dimiliki presiden. Enam kualitas tersebut adalah komunikasi publik, kapasitas organisasi, kemampuan politik, visi, gaya kognitif, dan kecerdasan emosional.

Berdasarkan daftar itu, bisa disimpulkan bahwa keahlian komunikasi dari calon presiden adalah salah satu kunci untuk memenangkan debat. Meski lebih penting, lima kualitas lainnya kurang terakomodasi di panggung.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau