Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Penjelasan di Balik Aksi Penjarahan Pascagempa Palu

Kompas.com - 04/01/2019, 11:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Joseph Robert Daniel

AKSI penjarahan toko-toko dan pusat perbelanjaan yang ramai diberitakan menyusul terjadinya bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu cukup menyedot perhatian.

Meski sempat dibantah oleh pemerintah, sejumlah media nasional dan internasional membenarkan bahwa telah terjadi pengambilan barang secara tidak terkontrol oleh warga yang kekurangan pasokan kebutuhan pokok pasca terjadinya gempa dan tsunami.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) juga membenarkan telah terjadi penjarahan pada sedikitnya 40 swalayan ukuran sedang dan 1 gerai swalayan besar yang ada di sekitar kota Palu.

Bagaimana kita bisa menjelaskan aksi penjarahan ini? Dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya terjadi kembali?

Dalam bencana, penjarahan adalah mitos?

Menghadapi bencana, manusia pada umumnya memiliki kecenderungan dasar untuk bersikap pro-sosial, saling membantu secara sukarela agar krisis bisa dilewati dengan lebih mudah.

Modal sosial semacam ini dibangun melalui pengerahan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk digunakan bersama dalam melewati periode kritis.

Penjarahan pasca-bencana justru merupakan wujud perilaku antisosial yang kontra-produktif, dan sebenarnya jarang terjadi sehingga cenderung dipandang sebagai suatu mitos.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Palu?

Hilang kendali

Aksi penjarahan di Palu dan Donggala awalnya berkembang dari keprihatinan warga akibat kekurangan suplai kebutuhan pokok pasca bencana.

Keprihatinan ini berkembang menjadi kekalapan ketika warga bukan hanya menyasar barang-barang kebutuhan pokok, namun juga yang bukan kebutuhan pokok seperti televisi dan telepon seluler. Selain itu, ATM dan kendaraan-kendaraan yang menyuplai kebutuhan pokok untuk korban juga tak luput menjadi sasaran penjarahan.

Penjelasan pertama untuk aksi semacam ini dapat kita diperoleh dengan memahami kebutuhan manusia untuk memegang kendali atas keadaan sekitarnya.

Rasa memiliki kendali (sense of control) adalah salah satu fondasi penting bagi kestabilan psikologis manusia.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau