Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivis: Bentang Politik Menghancurkan Bentang Alam Indonesia

Kompas.com - 18/12/2018, 19:34 WIB
Bhakti Satrio Wicaksono,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Keberadaan pertambangan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

Seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, jalan yang menghubungkan dua kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) longsor akibat aktivitas pertambangan batu bara, Kamis (29/11/2018) sekitar pukul 14.00 WITA.

Meski demikian, menghentikan pertambangan batu bara pun hampir dikatakan mustahil mengingat Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup tinggi akan tambang batu bara.

Menurut laporan yang diterbitkan sejumlah LSM, meliputi Greenpeace, JATAM, ICW, dan Auriga; hal ini disebabkan oleh keterlibatan elit politik yang juga memiliki posisi dalam bisnis pertambangan batu bara.

Baca juga: Mari Belajar dari Mauritius, Pakai Ampas Tebu untuk Bangkitkan Listrik

Laporan berjudul "Coalruption" yang dirilis oleh beberapa LSM tersebut mengungkap bagaimana elit politik menyatukan kepentingan bisnis dan politik pada kepentingan masyarakat Indonesia.

“Yang banyak terjadi pada saat ini soal perizinan. Kenapa perizinan? Karena bisnis ini menguntungkan, kita tidak perlu betul-betul, dalam tanda kutip punya otot dan otak. Selama kita punya kekuasaan, kita bisa punya bisnis tersebut,” ujar Tata Mustasya, dari Greenpeace Asia Tenggara, yang menjadi pembicara pada diskusi media pada Senin (17/12/2018) di Jakarta.

Dalam praktiknya, koordinator JATAM, Merah Johansyah menerangkan, keberadaan bisnis batu bara sering memanfaatkan kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah, legislatif, bahkan presiden.

“Tahun politik ini membuat para kandidat kontestasi politik membutuhkan pembiayaan dana yang besar. Tahun 2015, KPK bilang ada gap dari pembiayaan politik ini yang bisa diraih dari bantuan pebisnis batu bara,” ujarnya saat ditemui Kompas.com pada kesempatan yang sama.

Perilaku demikian, menurut Merah, memiliki dampak negatif pada demokrasi Indonesia. Pasalnya, bantuan yang diberikan perusahan batu bara akan membuat isu lingkungan hidup dikesampingkan dalam kampanye, mengingat para pebisnis telah memberikan bantuan finansial kepada kandidat.

Baca juga: Pembangunan PLTU Celukan Bawang II Ditentang, Ada Apa?

Merah pun berpendapat bahwa para oknum pebisnis batu bara yang mayoritas juga sebagai elit politik di Indonesia menggunakan kekuasaannya untuk bisa melanggengkan bisnis mereka untuk kepentingan pribadi.

Mendekati momen pesta demokrasi yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan lagi, Merah menyatakan bahwa ini adalah saat yang tepat bagi para elit politik yang juga memegang saham dalam bisnis batu bara untuk berubah dan mementingkan kepentingan rakyat.

“Kita sampaikan ke dua kubu sekaligus, kalau mau bicara soal lingkungan hidup yang baik dan sehat, mendorong keselamatan rakyat dari ancaman industri, mereka harus bersihkan kepentingan bisnis dari ini. Kita ingin sampaikan ini untuk bilang sudah saatnya kita membersihkan bentang politik kita dari kecanduan terhadap batu bara ini,” ujar Merah.

“Temuan laporan ini sebenarnya menegaskan bahwa bentang politik lah yang menghancurkan bentang alam hidup kita. Laporan ini menegaskan bahwa politik dan demokrasi itu bersih dari dua hal. Satu, ketergantungan terus menerus terhadap energi fosil, terutama batu bara yang merusak lingkungan hidup kita. Kedua, memastikan tulang punggungnya oligarki bersih dari bentang sistem politik kita saat ini,” pungkasnya tegas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau