KOMPAS.com – Pada Rabu (24/10/2018), warga jalan Anggrek 1, Bintaro, Jakarta Selatan digegerkan dengan munculnya kepulan asap dari gundukan tanah di pinggir kali Pesanggarahan. Menurut penuturan saksi, kondisi ini sudah terjadi selama lima bulan dan mengkhawatirkan warga sekitar.
Asap yang mengepul di udara menimbulkan bau busuk yang tidak nyaman bagi penciuman warga sekitar. Warga mengatakan bahwa bau busuk bisa tercium hingga jarak 200 meter dari lokasi keluarnya asap.
Analisis sementara dari Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan menyatakan bahwa ini disebabkan oleh adanya sampah yang tertimbun dan menyebabkan gas metana dari dalam tanah.
Namun, Rovicky Dwi Putrohari, ahli geologi dan anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia, meragukan apakah itu merupakan gas metana atau bukan, karena sejatinya gas metana tidak menimbulkan bau.
Baca juga: Temuan Kelas Dunia, Ada Gua Bawah Tanah Raksasa di Sinkhole China
Saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon Jumat (26/10/2018), Rovicky menuturkan, yang bau busuk itu justru hidrogen sulfida. Jadi, metana itu tidak berbau sebenarnya.
Meski demikian, dia tidak memungkiri bahwa fenomena ini mungkin terjadi akibat sampah yang tertimbun di dalam tanah. Fenomena ini pun sering terjadi di alam, terutama di lingkungan rawa.
“Biasanya, fenomena ini terjadi di rawa. Disebabkan oleh sisa-sisa pohon dan tumbuhan yang dibusukkan oleh bakteri-bakteri dan membuat timbulnya gas,” jelas Rovicky.
Akan tetapi, pandangan lain dilontarkan oleh Adrin Tohari, peneliti bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adrin menyatakan kalau asap yang muncul dari tanah di Bintaro itu bukanlah gas.
“Itu bekas bakaran saja, menurut saya sih, dan memang itu bisa bertahan selama lima bulan. Apalagi kondisinya belum hujan kan lima bulan ke belakang. Jadi, sampah yang dibakar, kemudian ditimbun, lalu mengeluarkan asap. Asapnya pun itu saya pikir bukan gas alam ya, itu bahan organik saja yang terbakar,” jelasnya melalui sambungan telepon.
“Kalau dia gas metana ya bentuknya bukan asap tapi gas. Ibarat gas bocor, kita bisa melihat gasnya berada di udara dan tidak berbentuk asap. Lalu itu sangat mudah tersulut panas,” imbuhnya lagi.
Namun, dia juga tidak memungkiri kemungkinan terjadinya pembusukan sampah di bawah tanah.
“Pada dasarnya, memang terjadi pembusukan dan mengeluarkan bau, tapi asapnya pasti bukan dari proses pembusukan. Kalau misal hanya bau saja, baru kita curigai (pembusukan sampah) tapi kalau dengan asap ya itu kemungkinan besar karena pembakaran,” ujar Adrin.
Baca juga: Fenomena Tanah Bergerak Pasca-gempa Donggala, Samakah dengan Lapindo?
Kedua ahli menyarankan agar fenomena ini tidak dianggap remeh, mengingat lokasinya yang dekat dengan sungai.
“Yang perlu dikhawatirkan itu kalau hasil dari sampah ini mencemari air tanah. Kan pasti ada bakterinya, jadi tidak boleh ada sumur di dekat tanah yang ada sampahnya. Saya enggak tahu itu dekat perumahan atau enggak, tapi kalau dekat perumahan warga tidak boleh menggunakan air tanah dangkal karena pasti tercemar bakteri,” ungkap Rovicky.
Terutama pada saat memasuki musim hujan seperti sekarang, sampah yang ada di dalam tanah dapat dengan mudah mencemari sungai.
“Karena dekat sungai, perlu dicek apakah ada rembesan polutan akibat sampah yang tertimbun itu. Terutama kalau dia berupa konsentrat cair akibat dari proses pembusukan. Ditambah dengan musim hujan, dia bisa masuk ke aliran sungai dengan mudah,” pungkas Adrin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.