KOMPAS.com – Gempa bumi mustahil untuk diprediksi. Tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu memperkirakannya. Itu pandangan yang kerap diucapkan saat ini setiap kali ada hoaks terkait prediksi gempa dan tsunami.
Namun seperti dalam bidang lainnya, manusia mungkin bisa melawan keterbatasannya dalam memprediksi gempa. Peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mudrik Rahmawan Daryono mengatakan, "Gempa bumi tidak terjadi secara acak, tetapi rutin."
Sebagai bagian dari disertasinya, Mudrik bersama tim Institut Teknologi Bandung, melakukan penelitian untuk mengetahui sejarah gempa bumi dan memperoleh frekuensi dari gempa bumi di suatu daerah terjadi.
“Ini namanya penelitian paleo-seismologi. Ini adalah mempelajari rekaman kejadian gempa bumi tua berdasarkan rekaman geologi," kata Mudrik dalam diskusi yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Selasa (02/10/2018) di Jakarta.
"Yang kami lakukan adalah melakukan paritan atau ekskavasi di atas tepat sumber sesar aktif. Pada penelitian yang kami lakukan, kami meneliti segmen Saluki di Sulawesi Tengah, dekat dengan sesar Palu Koro (penyebab gempa dan tsunami Palu),” jelasnya.
Dia dan tim meneliti struktur tanah segmen Saluki untuk mengetahui kekuatan gempa yang ditimbulkannya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 ini juga mengkaji lapisan tanah dan mengambil sampel karbon yang terkandung di dalamnya.
Dari sampel karbon, peneliti berusaha menguak gempa masa lalu dan waktu terjadinya. Dari catatan itu, peneliti bisa mereka interval atau periode ulang kejadian gempa beserta perkiraan magnitudonya.
Baca juga: Begini Beda Citra Satelit Sulteng Sebelum dan Sesudah Gempa Donggala
Melalui kajian ini, Mudrik dan tim menemukan bahwa di segmen Saluki, gempa terjadi dengan interval setiap 130 tahun dengan kisaran magnitudo 6 hingga 7.
“Kami menemukan gempa bumi di wilayah yang sama pada tahun 1909 dan sekitar lima kali kejadian gempa bumi tua yang belum diketahui usianya. Lalu dua gempa bumi yang lebih tua lagi diketahui terjadi pada 1285 dan 1415,” sambungnya.
Namun ia mengatakan, penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut. Pasalnya, interval 130 tahun itu masih belum diketahui deviasinya.
“Angka itu kita belum tahu plus minusnya, bisa jadi lebih cepat 50 tahun bisa jadi lebih lambat ratusan tahun. Tapi yang kita tahu pasti terakhir terjadi tahun 1909 dan kejadian gempa bumi tua lainnya,” kata Mudrik.
Ke depannya ia berharap dapat melakukan penelitian untuk dapat mendapatkan rentang waktu yang lebih sempit dari plus dan minusnya gempa terjadi.
Di sini, Mudrik menekankan perlunya riset sejarah gempa. Menurutnya itu perlu karena dalam kondisi tak bisa memprediksi, manusia setidaknya dapat mengetahui polanya sehingga bisa dijadikan modal tambahan dalam menghadapi bencana.
“Harapannya penelitian akan lebih banyak lagi, di-support dengan sistem yang lebih solid, fasilitas dan sumber daya manusia yang lebih serius untuk menyelesaikan puzzle bencana gempa bumi di Indonesia untuk mengetahui lebih rinci karakteristik sehingga bisa diberikan prediksi yang lebih baik lagi,” pungkas Mudrik.
Baca juga: Pause Dulu Nyinyirnya, Ambil Pelajaran dari Gempa dan Tsunami Ini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.