Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wimpie Pangkahila

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Rahasia Kedokteran yang Luput dari Pandangan Kita

Kompas.com - 30/04/2018, 18:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIR-AKHIR ini media massa heboh memberitakan seorang dokter dan metode pengobatannya . Dari berbagai komentar yang muncul, saya dapat menyimpulkan banyak orang yang belum mengerti benar tentang ilmu kedokteran.

Akibat lebih jauh, banyak orang yang kurang mengerti tentang peran dokter sebagai pelaksananya.

Sampai di sini, saya yakin ada yang mulai protes, “Siapa bilang aku tidak mengerti Ilmu Kedokteran? Pokoknya memberi pengobatan supaya sembuh, tidak perlu berteori”.

Kalau ada yang protes seperti ini pasti salah. Dia pasti seorang yang tidak mengerti atau hanya sok mengerti. Mengapa?

Ilmu Kedokteran terus berkembang sejak zaman Hipocrates dulu. Semakin banyak teori baru yang berkembang, yang kemudian dimanifestasikan dalam praktik kedokteran yang baru.

Jadi, praktik kedokteran pasti berdasarkan teori kedokteran yang sudah diakui secara internasional.

Siapa yang mengakui secara internasional? Ya masyarakat kedokteran yang terkait dengan teori baru, yang kemudian diterapkan dalam praktik oleh dokter terkait.

Sebagai contoh, manusia zaman old tidak mengenal kontrasepsi. Karena itu setiap keluarga mempunyai banyak anak.

Tetapi zaman now, semua orang mengerti apa itu kontrasepsi. Bagaimana ceritanya mengapa para peneliti dan dokter sampai menemukan kontrasepsi?

Mereka pasti mengerti dengan benar berbagai teori tentang sel spermatozoa, sel telur, dan hormon seks. Tanpa teori yang kuat, tidak mungkin kontrasepsi dapat digunakan.

Praktik dokter berbasis bukti ilmiah

Dokter yang profesional dan beretika pasti melakukan praktiknya sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran yang dikuasai dan tetap berdasarkan etika kedokteran.

Nah, ilmu kedokteran yang dipraktikkan ini harus berbasis bukti ilmiah yang diakui secara internasional. Nama kerennya Evidence-based Medicine (EBM).

Sebagai lawan EBM, ada yang disingkat TBM (Testimonial-based Medicine). Ini berarti praktik kedokteran yang hanya berdasarkan testimoni atau kesaksian pasien. Karena bersifat testimoni, maka sifatnya subyektif. Kalau diperiksa sesuai kaidah kedokteran terkini, boleh jadi penyakitnya tidak sembuh.

Kalau praktik yang dilakukan belum berbasis bukti ilmiah, dokter harus membuktikan dulu melalui apa yang disebut uji klinis. Apa yang dimaksud uji klinis?

Uji klinis adalah penelitian yang dilakukan pada manusia untuk menguji khasiat obat baru, cara pengobatan baru, atau alat bantu kedokteran yang baru. Memang tidak mudah melakukan uji klinis sampai pada tahap diakui secara internasional.

Ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Salah satu yang penting adalah subyek atau pasien yang dilibatkan dalam uji klinis harus tahu bahwa tindakan ini baru sebatas penelitian yang disebut uji klinis.

Jadi, pasien tahu pasti bahwa obat atau cara pengobatan ini belum diakui sebagai tindakan pengobatan. Masih ada banyak syarat lain yang harus dipenuhi.

Tetapi saya tidak sedang menjelaskan khusus uji klinis pada tulisan ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com