Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ruslan Menuai Keuntungan dari Pertanian Tanpa Bakar

Kompas.com - 09/04/2018, 15:45 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com -Ruslan Subekti (32) semula menentang aturan pembukaan lahan tanpa bakar. Dia memandang, larangan membakar lahan cuma menghambat petani tradisional, termasuk masyarakat adat yang mengolah lahan dengan cara berpindah.

Namun demikian, dia tak berani melawan. Meski sempat memilih mandeg bertani lantaran aturan yang tertuang dalam Pergub Kalteng Nomor 15/2010 itu, dia akhirnya mencoba buka lahan tanpa bakar pada 2016.

"Seandainya kami melawan, pasti enggak ada gunanya. Lebih baik akhirnya ikutin peraturan," beber Ruslan saat ditemui di Desa Tanjung Putri, Kecamatan Aru Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada Jumat (6/4/2018).

Kebutuhan perut dan dapur mendesaknya untuk mau merobohkan tebalnya penolakan aturan . Toh baginya, yang terpenting adalah memulai terlebih dahulu hal yang baru. Jika bicara hasil, itu urusan belakangan. 

Tak disangka, Ruslan menemukan kenyataan sebaliknya. "Dulu, sebelum lahan tanpa bakar, kami coba bisa menanam setahun sekali. Dengan lahan tanpa bakar, kami bisa dua kali. Ini tak diduga malah lebih bagus," ungkapnya. 

Keuntungan Mengenal Lahan Tanpa Bakar

Untuk lahan tanpa bakar, Ruslan biasa memulai menanam pada April akhir, lalu memanennya pada bulan Agustus. Lalu lahan dibiarkan "istirahat" dahulu sekaligus meratakannya kembali supaya bersih dari sisa pertanian sebelumnya dan baru ditanami 2 bulan kemudian.

Ruslan berpikir, pembukaan tanpa bakar lebih menguntungkan sebab tanaman bisa ditanam dalam jangka waktu lebih singkat. Bila dengan cara dibakar, setelah dipanen, padi baru bisa ditanam lagi saat tahun berikutnya. 

Baca juga : 718.000 Hektar Lahan Gambut Terdata

Kendati begitu, Ruslan tak mengelak jika biaya untuk membuka lahan tanpa bakar terbilang lebih mahal. "Sebelum tanpa bakar, dari penebasan saat membuka sampai menanam hanya butuh biaya sekitar 1,5 juta rupiah. Tinggal bakar lalu ditunggu abunya," ujarnya . 

Pembukaan lahan tanpa bakar mengharuskannya merogoh uang hingga Rp 3,5 juta. Biaya ini masih akan bertambah saat panen tiba. Ia harus mengupah sekitar Rp 100 ribu per tenaga tambahan yang dilibatkan. 

"Namun hasil panen tanpa bakar bisa sampai tiga ton gabah kering tiap panen. Beda dengan lahan yang dibuka dengan dibakar, hanya dua ton setahun sekali," imbuh petani asal Desa Tanjung Putri itu.

Hasil panen tersebut diperoleh dari luasan satu hektar. Ruslan sebagai Ketua Kelompok Hutan Kemasyarakatan (KHKM) Sumber Rejeki tidak sendiri mengolah lahan garapan tanpa bakar seluas delapan hektar. Ia bersama 25 anggota lain bersama-sama mulai dari membuka lahan hingga memanen sampai menanam padi kembali. 

Kini dia pun bertekad menyebarkan bukti keberhasilan lahan tanpa bakar supaya petani lain mau ikut menerapkan. Kata Ruslan, untuk lahan tanpa bakar mulanya ditebasi terlebih dahulu semak yang tumbuh di atas lahan yang  bergambut setebal setengah meter miliknya. Lalu sampah organik tersebut disimpuk (ditumpuk) selama kurang lebih 25 hari.

Untuk membantu menguraikan sampah organik tersebut menjadi pupuk KHKm memanfaatkan cairan dekomposer. "Butuh biaya 65 ribu rupiah untuk satu botol dekomposer berisi 16 liter. Tiap hektar butuh lima liter. Lalu lahan dibiarkan dulu 20 hari," terangnya.

Akses jalan menuju lahan tanpa bakar di Desa Tanjung Putri, Aru Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah Akses jalan menuju lahan tanpa bakar di Desa Tanjung Putri, Aru Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah

Sayangnya, penanaman padi ini masih terkendala akses jalan dan irigasi. Air laut, sebut Ruslan bisa sewaktu-waktu membanjiri lahan karena belum ada pintu pengatur. "Kalau air asin sampai masuk, pertumbuhan padi kurang bagus lalu lengket. Pemerintah harus tahu ini," pintanya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com