KOMPAs.com -- Pemerintah sedang mengupayakan terapi ginjal alternatif untuk menekan biaya.
Tengku Djumala Sari, Kasubdit Rumah Sakit Pendidikan Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menuturkan, biaya yang dikeluarkan BPJS untuk pembiayaan penyakit gagal ginjal selama 2014 hingga Juni 2017 mencapai angka Rp 6,5 triliun. Besaran ini merupakan kedua tertinggi setelah penyakit jantung.
“Apalagi jumlah pasien baru terus melonjak dari tahun ke tahun. Pasien baru yang menjalani dialisis ada 25.466 orang. Sedangkan pasien aktif ada 52.835 orang. Masih ada pasien yang belum mendapatkan akses hemodialisis,” ujar Djumala, dalam diskusi Peringatan Hari Ginjal Sedunia di Jakarta, pada Kamis (8/3/2018).
Djumala mengatakan, kurang meratanya akses hemodialisis disebabkan minimnya mesin cuci darah. Hingga 2016, mesin yang tersedia hanya berjumlah 6.604. Satu mesin hanya bisa melayani enam pasien setiap harinya.
Baca juga : Perempuan Rentan Terserang Penyakit Ginjal Kronis, Kenapa Begitu?
Padahal, terdapat tiga metode terapi untuk pasien gagal ginjal, yakni hemodialisis, transplantasi ginjal, dan Continous Ambulatory Peritonela Dialysis (CAPD).
Dalam kesempatan tersebut, Budi Hidayat, Ketua CHEPS FKM UI menyarankan pemerintah untuk menggenjot penerapan metode peritoneal dialisis.
Menurut dia, terapi cuci darah melalui perut ini dinilai lebih efektif dari segi pembiayaan dan kualitas hidup pasien. Pasien cukup menjalani terapi cuci darah sendiri di rumah tanpa harus pergi ke rumah sakit.
Budi menuturkan, dari data BPJS rentang Januari hingga Desember 2016 terdapat 18.597 pasien CAPD dengan biaya yang digelontorkan sebesar 98,7 miliar.
Baca juga : Penyakit Ginjal Kronis Intai Perempuan Hamil dengan Preeklamsia
Lantas, dia membandingkannya dengan pasien hemodialisis yang mencapai 3,1 juta orang dengan total biaya mencapai Rp 3,1 triliun.
“Masalahnya, cakupan penerapan CAPD masih rendah, kurang dari tiga persen. Kami menarget angkanya naik menjadi 30 persen pada 2019, ujar Djumala.
Pemerintah, sebut Djumala, akan berbenah supaya CAPD lebih menjangkau banyak masyarakat.
Selama ini, CAPD masih kurang dilirik lantaran sosialisasi ke masyarakat minim, tenaga kesehatan yang memahami terapi CAPD masih minim, payung hukum pemasangan insersi kateter CAPD belum ada, serta masyarakat masih enggan melakukan terapi sendiri di rumah.
Selain itu, semenjak kemunculan BPJS, klinik hemodialisis menjamur di Indonesia karena terapi ini dinilai memberikan pemasukan lebih.
Baca juga : Bukannya Menyehatkan, Kebanyakan Minum Air Justru Merusak Ginjal
Faktor lainnya, pasokan cairan CAPD masih dikuasai satu perusahaan saja yakni Bexter. Sanbe Farma dan Fresensius Medical Care sebagai penyuplai cairan CAPD masih tahap registrasi
Rekomendasi yang diberikan Budi agar pemerintah berhasil mewujudkan target 30 persen terapi CAPD yakni dengan memberikan insentif kepada dokter. Insentif tersebut bisa dituangkan dalam Indonesia Case Base Groups JKN sehingga dokter bersedia menyarankan terapi CAPD kepada pasien, selain hemodialisis.
“Butuh intervensi radikal kalau ingin meningkatkan penerapan CAPD. Caranya dengan mengubah sistem insentif dan sistem pembayaran. Dengan demikian, rumah sakit bersedia mengganti hemodialisis dengan CAPD,” ujar Budi.
Aida Lydia, Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PENEFRI) yang juga hadir dalam kesempatan ini menyatakan kesanggupan untuk membantu Kemenkes memperluas cakupan CAPD. PENEFRI bersama Kemenkes akan menjadikan Jawa Barat sebagai rintisan penyelenggaraan CAPD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.