Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Ibu yang Tega Setrika Anaknya di Garut, Apa Kata Psikolog?

Kompas.com - 27/02/2018, 21:05 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com -- Seorang anak berinisial MR (7 tahun) diketahui mendapatkan perlakuan kasar dari sang ibu. Sang ibu tega melayangkan setrika panas ke sekujur badannya. Akibatnya, seluruh permukaan tubuh anak tersebut mengalami luka bakar yang cukup serius.

Kejadian tersebut berlangsung di rumah sang anak di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Seperti yang dilansir dari Kompas.com, sang guru dari bocah tersebutlah yang akhirnya memergoki penganiyaan ini pada Senin (19/2/2018).

Anna Surti Ariani, psikolog, mengaku miris dengan tindakan kejam yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya tersebut. Ia juga menyayangkan mengapa seorang ibu yang seharusnya menjadi sosok terdekat bagi sang anak justru tega melukai buah hatinya.

“Ya ampun kasihan sekali anaknya. Si ibu perlu menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apa yang mendorongnya melakukan hal tersebut,” ujar perempuan yang akrab disapa Nina ketika dihubungi Kompas.com pada Minggu (25/2/2018).

Baca juga : Awas, Bullying Timbulkan Keinginan Bunuh Diri Saat Remaja

Tanggapan senada juga dikemukakan Astrid WEN, psikolog dari Pion Clinician.

Menurut Astrid, ketika dihubungi melalui sambungan telepon oleh Kompas.com pada Senin (26/2/2018), pihak kepolisian yang bekerja sama dengan psikolog harus menelusuri riwayat kekerasan pada sang ibu. Tujuannya adalah untuk mencari tahu faktor pencetus yang menggerakkan sang ibu hingga tega berbuat bengis.

“Kita perlu melihat histori kekerasan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Selain itu, telusuri jejak kekerasan yang dialami atau dikerjakan oleh ibu tersebut saat menjadi anak,” imbuh Astrid.

Astrid menjelaskan, bisa jadi ibu tersebut merupakan korban atas kejadian buruk serupa yang menimpanya di masa lalu. Akibatnya, ibu tersebut meluapkan emosi yang memuncak kepada anak dengan cara yang salah.

Psikolog juga perlu meninjau apakah sang ibu menjalani kehidupan keluarga saat ini ataupun semasa kecil secara sehat dari sisi psikologis. Indikator keluarga sehat, disebutkan Astrid, yakni keluarga yang memandang sebuah masalah dengan cara positif.

Baca juga : Bagaimana Stres Bisa Menimbulkan Penyakit? Sains Menjelaskan

Tindakan kekerasan sangat minim terjadi di keluarga yang sehat. Apabila diterapkan hukuman sebagai konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan, bentuknya bukanlah kekerasan fisik ataupun tindakan yang menyakiti.

Ditekankan Astrid, konsekuensi yang diterima jelas. Umumnya sebatas hukuman yang bersifat tegas bukan memarahi atau melibatkan aksi fisik.

“Kalau seorang ibu hingga berani melakukan kekerasan pada anak, dicurigai ibu tersebut pernah jadi korban kekerasan sebelumnya, tidak cuma sekali tapi berulang-ulang. Dia bukan hanya sebagai pelaku di masa kini, tetapi juga korban atas akumulasi memori yang ia tumpuk,” imbuhnya.

Perlakuan yang diterima perempuan tersebut semasa kecil turut terbawa hingga dewasa. Akibatnya, ibu mengira itulah cara untuk memerhatikan sang anak kelak.

Wanita tersebut, sebut Astrid, tidak mempunyai model pengasuhan yang bisa dicontoh selain apa yang didapatkan sewaktu masih anak-anak. Dengan demikian, dia terpaksa menerapkan cara tersebut.

Baca juga : Kekerasan Verbal Tak Selalu Makian atau Kata Kasar

“Perempuan tersebut tidak terbayang pilihan lain atau tidak mampu melakoni pilihan lain itu. Faktor lain yang bisa dilihat untuk memastikan penyebab perlakuan wanita itu adalah hubungan dengan suami,” ucapnya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau