KOMPAS.com — Hannah Byme, ilmuwan dari Bangor University di Inggris, mengumumkan hasil penelitian terbarunya tentang ikan zaman lampau yang bisa berjalan. Hal ini ia sampaikan dalam acara Ocean Sciences di Portland, Oregon, pada Kamis (15/2/2018).
Diketahui dari penelitian tersebut bahwa untuk menghadapi gelombang pasang-surut yang berulang selama dua minggu, ikan-ikan yang hidup 400 juta tahun lalu mengandalkan sirip dan otot yang kuat untuk berjalan.
Jika tidak, ikan-ikan tersebut terombang-ambing di daratan dan tidak bisa balik ke laut. Tinggi gelombang pada zaman lampau bisa mencapai 4 meter atau lebih.
Para peneliti berpendapat, hanya ikan yang yang memiliki kemampuan adaptasi seperti itulah yang bisa bertahan. Ini diperkuat dengan adanya penemuan fosil pertama tetrapoda terestrial, yakni ikan bersirip Tiktaalik dari Pulau Ellesmere, Kanada, dan di sepanjang jalur Pegunungan Holy Cross di Polandia. Di tempat penemuan fosil kuno itu terjadi siklus pasang surut air laut.
Matthew Huber, pakar iklim purba di Universitas Purdue, ikut menanggapi hasil penelitian tersebut. Menurut Huber, dibutuhkan lebih banyak bukti untuk menguatkan bahwa fenomena pasang surut dan evolusi hewan yang berjalan di darat bukan suatu kebetulan. Meski demikian, Matthew menilai penelitian ini menarik dan patut untuk ditindaklanjuti.
Komentar lain datang dari Jennifer Clack, pakar paleontologi dari Universitas Cambridge, yang masih meragukan hasil penelitian tersebut.
Baca juga: Payudara Wanita, Teka-teki Evolusi hingga Kanker yang Mematikan
“Ini hanya salah satu dari kebanyakan gagasan tentang asal-muasal tetrapod. Salah satu atau semua, mungkin sudah terjawab,” ujar Clack.
Kajian mengenai hewan yang pertama kali berjalan merupakan hewan yang terdampar di kawasan dengan gelombang pasang surut sebenarnya sudah disepakati.
“Sebenarnya, yang kami tekankan adalah mengapa perairan pasang surut terbentuk dan hewan-hewan itu memfosil,” kata Mattias Green, ahli kelautan di Universitas Bangor yang juga anggota penelitian, seperti yang dilansir Nature pada Senin (19/2/2018).
Untuk diketahui, ratusan juta tahun lalu, jarak Bulan dan Bumi tidak sejauh sekarang. Steven Balbus, astrofisikawan dari Universitas Oxford, menemukan pengaruh antara grativasi dengan kehidupan di Bumi. Ia menyebut, periode pasang surut Bumi lebih besar pada masa vertebrata kaki empat terkuno hidup.
Dari pemikiran Steven itulah, Byrne dan Green mereka ulang fenomena pasang surut di pantai seluruh dunia. Simulasi tersebut berlandaskan data kondisi benua pada masa lampau, serta bentuk dan kedalaman lautan. Dua era waktu yang dipilih adalah ketika 430 juta tahun lalu saat hewan tetrapoda kuno mengalami evolusi paru-paru. Kedua, ketika 400 juta tahun lalu saat kehidupan tetrapoda pertama teridentifikasi.
Para peneliti berhasil menyimpulkan bahwa fenomena pasang surut menentukan lamanya ikan terdampar. Jika ikan tertahan dalam perairan berbatu saat pasang tertinggi, maka 14 hari kemudian pasang akan terulang kembali.
“Fakta seperti ini yang telah lama buntu,” kata Green.
Baca juga: Lewat Fosil Berusia 200 Juta Tahun, Peneliti Ungkap Evolusi Kupu-kupu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.