KOMPAS.com --Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu penyakit yang meresahkan masyarakat. Sampai saat ini, ilmuwan masih terus mencari obat yang tepat untuk memeranginya.
Saat meneliti D-cycloserin yang merupakan antibiotik lama, ilmuwan menemukan harapan baru untuk pengobatan penderita TBC.
Profesor David Roper di Warwick's School of Life Sciences dan Dr Luiz Pedro Carvalho dari The Francis Crick Institute, menjelaskan keunikan kerja antibiotik D-cycloserin di tahap persenyawan molekular.
"Dalam penemuan baru ini, D-cycloserin terikat pada enzim ligase D-alanine-D-alanine dan mengalami modifikasi secara kimia pada enzim. Modifikasi kimia inilah yang belum pernah terlihat sebelumnya," kata Profesor Roper.
Baca Juga: Indonesia Peringkat Kedua TBC di Dunia, Waspadai Gejalanya
"Kami sekarang mengerti keunikan obat antibiotik ini yang memiliki metode unik saat bekerja terhadap target yang berbeda," tambahnya, dikutip dari Labnews, Rabu (17/1/2018).
Antibiotik D-cycloserin menghambat kerja dua jenis enzim berbeda yaitu racemase D-alanine dan D-alanine-D-alanine ligase. Kedua bakteri tersebut diketahui saling terkait untuk membangun dan mempertahankan dinding struktural sel bakteri.
D-cycloserin akan membentuk ikatan molekular dengan kelompok kimia yang membuat enzim racemase D-alanin bekerja, dengan tujuan melumpuhkan enzim D-alanin itu.
Seperti diketahui, D-cycloserin adalah obat antibiotik produk lama yang efektif melawan banyak penyakit akibat mikroba, semisal tuberkulosis. Akan tetapi karena dianggap memiliki efek sampingnya berbahaya, obat tersebut hanya dijadikan cadangan kedua saat proses perawatan.
Baca Juga: Dalam Pengobatan TBC, Ibu Tetap Bisa Menyusui
Saat ini, peneliti telah menemukan keunikan kerja kimiawi D-cycloserin terhadap sejumlah bakteri yang menjadi target. Kinerja kimiawai tersebut kemungkinan hanya dimiliki oleh antibiotik D-cycloserin saja di seluruh dunia.
Peneliti akan melakukan penelitian kembali dengan tujuan memodifikasi struktur D-sikloserin.
Harapannya, menghasilkan antibiotik yang lebih spesifik dan menghindari beberapa efek samping yang merugikan dan mengurangi efek samping kekebalan terhadap antibiotik saat infeksi.
"Dengan memahami proses molekuler dan seluler yang disebabkan antibiotik, kita akan benar mengerti bagaimana membuat obat yang lebih baik, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi ancaman resistensi antibiotik saat ini," kata Dr Luiz Pedro Carvalho dari Laboratorium Metabolisme Mycobacterial and Antibiotic Research di Francis Crick Institute.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.