Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Hanya Gesekan, Ilmuwan Ungkap Sebab Meteor Meledak di Atmosfer

Kompas.com - 19/12/2017, 18:00 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

Sumber Sci-News

KOMPAS.com - Kita perlu banyak bersyukur karena punya atmosfer kuat yang melindungi kita dari bahaya meteor yang masuk ke bumi. Saat melewati atmosfer, meteor akan meledak dan tidak akan membahayakan bumi karena sudah berupa puing-puing bahkan tak berbekas.

Penelitian terbaru juga menegaskan kembali hal ini. Bahkan, penelitian tersebut menjelaskan lebih rinci mengapa meteor meledak saat melewati atmosfer planet kita.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Meteoritics & Planetary Science itu menyebut bahwa atmosfer bumi merupakan perisai yang lebih baik untuk meteroid daripada yang diungkapkan pada penelitian sebelumnya.

Para peneliti menjelaskan ketika sebuah meteor meluncur ke bumi, udara bertekanan tinggi di depannya akan masuk ke dalam pori-pori dan retakannya. Hal ini kemudian mendorong bagian meteor itu terpisah dan meledak.

Baca juga: Ini 3200 Phaethon, Asteroid Aneh yang Jadi Induk Hujan Meteor Geminid

"Ada perbedaan besar antara udara bertekanan tinggi di depan meteor dan kekosongan udara di belakangnya. Jika udara bisa bergerak melalui bagian-bagian di meteoroid, ia dapat dengan mudah masuk ke dalam dan menghembuskan potongan," kata Jay Melosh, profesor Ilmu Bumi, Atmosfer, dan Planet di Universitas Purdue, Amerika Serikat dikutip dari Sci-News, Rabu (13/12/2017).

Meteoroid sendiri seperti tumpukan reruntuhan yang penuh dengan patahan dan pori-pori. Sayangnya, sebelumnya tak ada ilmuwan yang mempertimbangkan bagaimana pengaliran udara pada meteroid bisa mempengaruhi ledakan mereka.

Profesor Melosh dan koleganya menemukan mekanisme pengaliran udara ini saat mensimulasikan kembali ledakan meteor di Chelyabinsk, Rusia pada 2013 lalu. Saat itu, meteor sebesar 20 meter ini meledak sekitar 29 kilometer di atas Pegunungan Ural, Rusia.

Ledakan ini tentu saja mengejutkan dan membawa energi yang sebanding dengan senjata nuklir kecil. Padahal saat memasuki atmosfer bumi, benda ini telah menjadi sebuah bola api yang terang.

Meteor ini diperkirakan awalnya memiliki bobot 10.000 ton. Namun saat mencapai permukaan tanah, hanya tinggal 2.000 ton puingnya yang ditemukan.

Ini menunjukkan bahwa terjadi sesuatu di atmosfer bagian atas yang menyebabkannya hancur. Untuk memecahkan teka-teki ini, para ilmuwan bekerja keras.

Mereka menggunakan kode komputer unik yang pertama kali dikembangkan oleh Los Alamos National Laboratory yang ditujukan untuk mensimulasikan ledakan reaktor nuklir.

Baca juga: Kilas Balik 7 Fenomena Hujan Meteor Paling Menakjubkan pada 2017

Dalam penelitian ini, simulasi digunakan untuk menghitung hilangnya kandungan komposisi meteoroid.

Simulasi itu menunjukkan bahwa lapisan atmosfer melawan sisi meteoroid yang menghadap bumi, membentuk kantong udara padat di depan batu antariksa itu. Di sisi sebaliknya, meteoroid menciptakan kekosongan udara.

Gelembung udara bertekanan di depan meteoroid tertarik kuat di lingkungan dengan tekanan rendah yang berada di belakang meteoroid. Hal inilah yang kemudian menyebabkan partikel udara  mengalir dengan cepat melalui celah dan lubang batu antariksa itu.

Udara bertekanan tinggi yang bergerak melalui kekuatan meteoroid ini kemudian memisahkan retakan dan membuat meteoroid terpecah di atmosfer atas.

"Meskipun mekanisme ini adapat melindungi penghuni bumi dari meteoroid kecil, meteoroid besar tidak akan terganggu oleh atmosfer ini," kata Profesor Melosh.

"Meteoroid besi jauh lebih kecil dan lebih padat. Bahkan yang relatif kecil pun cenderung mencapai permukaan bumi," sambungnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau