KOMPAS.com -- Demi kesehatan, semua orang pasti akan mengusahakan untuk mendapatkan obat dan perawatan yang terbaik. Namun, bagaimana jika obat yang dikonsumsi palsu?
Hasil riset terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap bahwa 1 dari 10 atau sekitar 10.5 persen produk kesehatan yang beredar di negara berkembang merupakan produk substandar atau palsu.
Temuan ini adalah hasil analisis terhadap lebih dari 100 studi yang telah diterbitkan terkait survei mutu obat di 88 negara berpendapatan rendah hingga sedang, yang melibatkan 48.000 sampel obat.
Masalah ini tidak main-main. Obat-obatan substandar atau palsu sangat berdampak pada masyarakat yang rentan terhadap penyakit.
Baca Juga: WHO Sarankan Tunggu Semenit untuk Potong Tali Pusar Bayi Prematur
Penelitian yang dilakukan University of Edinburg memperkirakan bahwa setiap tahunnya, ada sekitar 72.000 hingga 169.000 anak berpotensi meninggal dunia karena menderita penyakit pneumonia yang disebabkan oleh pengunaan antibiotik yang substandar atau palsu.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan London School of Hygene and Tropical Medicine, memperkirakan ada 116,000 kematian tambahan karena malaria karena konsumsi obat anti malaria substandar dan palsu di gurun Sahara, Afrika. Pasien juga harus mengeluarkan biaya mahal sekitar 21,4 juta sampai 52,4 juta rupiah untuk pengobatan lanjutan.
Sejak terbentuknya Sistem Surveilans dan Pemantauan Global untuk produk substandar dan palsu pada 2013, WHO telah menerima lebih dari 1.500 laporan terkait kasus obat substandar atau palsu, mulai dari obat, vaksin, hingga alat kesehatan yang mencurigakan. Dari jumlah itu, laporan paling banyak adalah obat antimalaria dan antibiotik.
Baca Juga: 12 Bakteri Kebal Obat Paling Berbahaya Menurut WHO
Menurut catatan, laporan obat palsu paling banyak datang dari Afrika dengan jumlah mencapai 42 persen, disusul Amerika dan Eropa 21 persen, kemudian 8 persen datang dari wilayah Pasifik Barat, 6 persen dari Mediterania Timur, dan 2 persen Asia Tenggara.
"Banyak produk seperti antibiotik yang sangat vital bagi daya tahan tubuh serta kesehatan. Obat palsu dapat mengancam resistensi antimikroba yang membuat obat tidak bekerja sebagaimana mestinya," kata Dr Mariângela Simão, Deputi Direktur Jenderal untuk Akses Obat, Vaksin dan Farmasi di WHO.
Sebagian besar kasus yang diterima oleh WHO timbul di negara dengan akses ke produk kesehatan terbatas.
Menurut mereka, produk kesehatan palsu menjangkau pasien jika kapasitas untuk menerapkan standar kualitas produksi, penyediaan, serta distribusi barang sangat terbatas. Produk yang dipalsukan juga biasanya beredar karena kurangnya regulasi maupun kontrol, dan diperburuk oleh praktek bisnis yang buruk.
Baca Juga: WHO Imbau Tiap Negara Naikkan Pajak Minuman Bersoda
Lalu, globalisasi juga menyebabkan sulitnya mengatur produk kesehatan.
Beberapa perusahaan produk kesehatan palsu memproduksi dan mencetak kemasan di beberapa negara berbeda sebelum mengirimkan komponen tersebut pada negara tujuan untuk dikumpulkan dan didistribusikan. Seringkali, perusahaan dan akun bank offshore juga digunakan untuk memfasilitasi penjualan obat palsu.
"Intinya, ini merupakan masalah global. Negara harus mengukur besarnya masalah yang ditimbulkan dan bekerja sama, baik secara regional maupun global untuk mencegah beredarnya produk tersebut dan memperbaiki proses pendeteksian dan respons," ujar Dr Simao.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.