KUPANG, KOMPAS.com - Peningkatan resistensi antibiotik (AMR) pada hewan di berbagai negara berpotensi menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada tahun 2050.
Kondisi itu diperparah dengan lambannya laju penemuan dan pengembangan antibiotik baru dari bakteri yang menjadi resisten.
Resistensi terjadi akibat kelalaian dalam penggunaan obat, seperti tidak tepatnya pemakaian dan juga dosis.
"Kita tidak punya pilihan terhadap antibiotik yang akan digunakan untuk bisa menyehatkan hewan dan masyarakat, sehingga biaya pengobatan semakin mahal."
"Prediksi para ahli di dunia, kalau seandainya tidak ada upaya global untuk ikut mengendalikan resistensi ini, maka di tahun 2050, resistensi antibiotik akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia."
Diperkirakan sekitar 10 juta orang di dunia, meninggal setiap tahunnya akibat resistensi ini.
Baca Juga : Kontroversial, Dokter Inggris Beri Saran untuk Tak Habiskan Antibiotik
Uraian itu disampaikan Kepala Seksi Monitoring dan Surveilans, Dirjen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian, dokter hewan Imran Suandy.
Dia berbicara di sela-sela seminar bertajuk 'Penggunaan Obat Hewan Secara Tepat dan Benar Menuju Manusya Mriga Satwa Sewaka.
Manusya Mriga Satwa Sewaka artinya adalah mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan.
Seminar ini digelar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana di Kupang, Sabtu (18/11/2017).
Persoalan timbul karena antibiotik tidak hanya digunakan oleh manusia, tetapi juga dimasukan dalam pakan ternak.
Baca Juga : Darurat, Strain Gonore yang Kebal Antibiotik Mendunia
"Kita khawatir dengan penggunakan antibiotik di pakan ternak, akan semakin banyak bakteri yang menjadi resisten, sehingga tentu ada dampaknya kepada manusia," kata drh Sri Mukartini.
Sri berbicara mewakili Balai Besar Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan yang berbicara dalam seminar tersebut.