Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/11/2017, 19:06 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com -- Peningkatan resistensi antimikroba (AMR) di berbagai negara berpotensi menjadi pembunuh nomor satu pada tahun 2050 mendatang.

Hal itu diperparah dengan lambannya laju penemuan dan pengembangan antimikroba baru dari bakteri yang menjadi resisten.

Resistensi terjadi akibat kelalaian dalam penggunaan obat seperti tidak tepat pemakaian dan dosis.

"Seandainya tidak ada upaya global untuk mengendalikan resistensi ini, diperkirakan sekitar 10 juta orang akan meninggal setiap tahunnya akibat resistensi antimikroba," kata Kepala Seksi Monitoring dan Surveilans, Dirjen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian dokter hewan (drh) Imran Suandy.

Baca juga : Perangi Bakteri Modern, Ilmuwan Keluarkan Senjata Ampuh Zaman Jebot

Imran berbicara kepada wartawan di sela-sela seminar bertajuk 'Penggunaan Obat Hewan Secara Tepat dan Benar Menuju Manusyamriga Sewaka' yang digelar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana Kupang, Sabtu (18/11/2017).

Seminar tersebut bertujuan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai isu-isu penggunaan obat hewan, terutama yang terkait dengan resistensi antimikroba.

Dia menyebutkan upaya global, termasuk Indonesia, mengendalikan resistensi antimikroba sudah dirilis sejak 2016.

Salah satu strateginya adalah peningkatan pemahaman mengenai penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggungjawab. "Dokter hewan ini menjadi agen perubahan ke depan sehingga bisa mengurangi laju perkembangan resistensi," ujarnya.

Persoalan timbul karena antibiotik tidak hanya digunakan oleh manusia, tetapi juga dimasukan dalam pakan ternak.

Baca juga : Pilih Sabun Mandi secara Bijak, Mari Cegah Resistensi Bakteri

"Kita khawatir dengan penggunakan antibiotik di pakan ternak, akan semakin banyak bakteri yang menjadi resisten sehingga tentu ada dampaknya kepada manusia," kata drh Sri Mukartini, dari Balai Besar Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut.

Menurut dia, pemberian antibiotik kepada ternak akan berdampak terhadap adanya residu atau sisa obat yang tertinggal di dalam jaringan otot. Hal ini kemudian akan berdampak terhadap kesehatan manusia.

Seminar tersebut diikuti 238 mahasiswa dan dosen dari Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Pertanian, dan Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. Hadir pula empat orang mahasiswa asal Timor Leste.

Di tempat yang sama, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Undana drh Maxs Sanam mengatakan, sesuai peraturan pemerintah, penggunaan antibiotics growth promoter (AGP) atau tntibiotik untuk pertumbuhan di pakan harus dihentikan pada Januari 2018.

"Produsen pakan maupun pengelola kesehatan hewan dan pangan perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi resistensi antibiotik, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan laju pertumbuhan hewan,"sebutnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com