KOMPAS.com – Sebuah laporan dari National Geographic 14 November 2017 yang ditulis oleh Peter Schwartzstein mengungkapkan fakta yang mengejutkan: meski pertumbuhan ISIS di Irak didukung oleh banyak faktor, salah satu yang utama adalah perubahan iklim.
Kepada Schwartzstein, seorang Sheikh lokal Saleh Mohammed Al-Jabouri menceritakan bagaimana sekelompok pria berjanggut yang aneh tiba-tiba muncul di pasar pupuk Shirqat pada musim dingin 2009 yang kering.
Pria-pria ini dengan sengaja mencari para petani yang terlihat paling miskin dan menjanjikan mereka kekayaan. “Bergabunglah dengan kami dan kamu tidak perlu khawatir memberi makan keluargamu lagi,” kata Jabouri menirukan.
Setiap kali bencana melanda Shirqat, pria-pria tersebut muncul dengan hadiah. Ketika kekeringan besar melanda Irak pada tahun 2010, misalnya, mereka membagi-bagikan keranjang makanan. Lalu, ketika angin besar menghancurkan ladang-ladang terong di daerah Kirkuk pada musim semi 2012, mereka membagikan uang.
Baca juga : Studi Ungkap Pola Berpikir Teroris untuk Pertama Kalinya
Tidak heran bila ketika ISIS merebut daerah ini dari Irak pada tahun 2014, lusinan petani terlihat di antara mereka.
Tidak hanya Shirqat
Kisah ini tidak hanya terjadi di Shirqat. Para petani, pejabat, dan pemimpin desa di Irak dan Suriah memberikan keterangan serupa kepada Schwartzstein.
Data pun menunjukkan bahwa di sekitar Tikrit, mayoritas pendukung ISIS berasal dari komunitas-komunitas yang mengalami kekeringan air. Di Tharthar, lebih banyak petani yang tinggal dekat padang pasir bergabung dengan ISIS daripada petani-petani yang tinggal dekat sungai.
"Dalam lebih dari 100 wawancara yang diadakan selama tiga tahun, petani dan petugas agrikultur terkadang bertanya-tanya: jika kita menerima lebih banyak bantuan, mungkinkah tragedi berdarah ini dapat dihindari?," tulis Schwartzstein.
Jika ditarik lebih jauh, popularitas ISIS di daerah-daerah yang dilanda bencana tampaknya memang tak bisa dihindari dan telah berakar sejak tahun 1970-an ketika ledakan minyak merebut perhatian pemerintah Irak dari sektor pertanian.
Baca juga : Bisakah Program Deradikalisasi ?Sembuhkan? Teroris?
Pada tahun 1979, Saddam Hussein naik takhta dan memaksa puluhan ribu petani untuk bergabung dalam perang Irak dan Iran. Hussein bahkan dengan sengaja membakar perkebunan kurma di selatan Irak agar tidak digunakan sebagai tempat persembunyian tentara Iran yang menarget fasilitas minyak di Basra.
Di saat yang sama, sungai-sungai di Irak mulai mengering. Selain curah hujan yang lebih rendah dari biasanya, Turki dan Iran yang berada di hulu sungai membangun ribuan bendungan. Turki bahkan membangun 600, termasuk lusinan yang berada di perbatasan Irak dan Suriah.
Para petani pun terpaksa beralih ke sumur untuk mengairi ladang mereka. Namun, dengan keterbatasan listrik, satu-satunya cara untuk menghidupkan pompa adalah dengan menggunakan generator diesel yang sama sekali tidak murah.
Sedikit demi sedikit, air menjadi sumber daya yang hanya dimiliki oleh para tuan tanah, sedangkan petani-petani lainnya hanya bisa berusaha untuk bertahan hidup dalam kemiskinan.
Masalah ini semakin dipersulit oleh suhu yang terus meningkat. Dilanda oleh gelombang panas, para petani harus memompa lebih banyak air untuk menghidupi tanaman mereka.