Film yang diadaptasi dari novel erotis pertama dari trilogi Fifty Shades of Grey-Fifty Shades of Darker-Fifty Shades of Freed karangan EL James ramai dibicarakan karena tema yang diusungnya, Bondage Dominance Sadomasochism (BDSM).
BDSM secara sederhana mencakup ekspresi seksual yang melibatkan permaian peran budak dan penguasa, menggunakan peralatan seperti tali dan borgol untuk menunjang penguasaan, dan melibatkan kekerasan sebagai cara untuk meraih kepuasan seksual.
Rilis global 14 Februari 2015, tepat pada hari Valentine, Fifty Shades of Grey memicu perdebatan tentang perilaku BDSM baik di kalangan publik awam maupun para akademisi dan peneliti.
Publik terpecah. Ada yang menganggap bahwa BDSM adalah ekspresi seksual yang wajar. Namun, banyak pula yang menganggapnya menyimpang, melanggar norma, tak sesuai dengan budaya timur.
Kalangan akademisi dan peneliti pun terbagi. Aktivis feminisme menganggap BDSM adalah bentuk kekerasan pada perempuan. Namun, ada pula peneliti yang menganggap ekspresi itu lumrah. Perdebatan diantaranya muncul dalam tulisan-tulisan para akademisi di situs The Conversation.
Di tataran pemerintah, banyak negara sibuk menolak masuknya film itu. Indonesia telah menyatakan menolak karena menganggapnya tidak memenuhi syarat sensor. Malaysia menolak sebab menilai film itu dianggap mengekspos kekerasan dan ekspresi seksual tak wajar.
Di balik semua kehebohan itu, sudah tahukah kita tentang kultur BDSM? Apakah BDSM cuma sekadar mengikat dan mencambuk? Mengapa sampai ada ekspresi BDSM dan apakah benar itu tak normal alias menyimpang?
Meskipun demikian, istilah BDSM sendiri baru mulai muncul setelah psikoanalisis yang dipelopori filsuf dan Psikolog Sigmund Freud. Secara formal, BDSM sendiri baru dipakai tahun 1960-an.
Sejarah kelahiran istilah BDSM dimulai dari novel karya Marquis de Sade, Justine, pada tahun 1785. Novel itu menggambarkan ekspresi seksual untuk mendapatkan kepuasan dengan menyiksa. Kata "Sade" lalu dipakai untuk istilah "Sadisme".
Sementara, tahun 1869, Leopold von Sacher-Masoch memublikasikan karyanya berjudul "Venuz im Pelz". Karya itu menceritakan tokoh laki-laki yang suka diperbudak oleh perempuan. Kata "masoch" kemudian dipakai untuk "masokisme".
Tahun 1889, Sigmund Freud kemudian menyatukan istilah sadisme dan masokisme menjadi sadomasokisme. Dia juga menyatakan bahwa perilaku tersebut adalah patologi seksual yang muncul karena represi dan di luar kesadaran.
Tahun 1969 dalam The New Partridge Dictionary of Slang and Unconventional English volume I, gabungan "bondage-discipline", "dominance-submission", dan "sado-masochism" baru dikenal resmi sebagai satu kesatuan, BDSM.