Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keindahan yang Berbahaya

Kompas.com - 13/12/2011, 22:14 WIB

Oleh Indira Permanasari dan Ahmad Arif

KOMPAS.com — Cemara laut (Casuarina Sp) dan barisan pohon keben (Barringtonia Sp) yang hijau meneduhkan pedalaman Pulau Rakata. Di tepian pantai, hamparan kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) menutupi pasir. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, seekor biawak cepat-cepat menyelusup ke balik semak-semak. Kehidupan sedemikian semarak di pulau itu.

Tidak terbayangkan, 128 tahun lalu, pulau hijau itu merupakan tanah kosong tanpa kehidupan. Di balik pesonanya, pulau terpencil di Selat Sunda itu menyimpan sejarah kelam. Pada 27 Agustus 1883, Krakatau meletus hebat, menyisakan hanya sepertiga tubuhnya yang kemudian dikenal sebagai Pulau Rakata. Tebaran abu, batu apung, dan material lainnya menyelimuti pulau itu dan memusnahkan kehidupan di atasnya.

Namun, justru letusan dan sejarah Krakatau itulah yang menarik orang dari berbagai penjuru dunia untuk datang. Sejak lama letusan Krakatau ibarat magnet yang menyedot pelancong. Bahkan, pada Mei 1883, saat Krakatau pertama kali meletus, serombongan turis yang penasaran datang ke sana dengan kapal pesiar.

Perusahaan Netherland-Indies Steamship Company yang menawarkan "paket wisata" berlayar ke Krakatau dengan kapal uap Governor General Loudon langsung diserbu calon penumpang. Sebanyak 86 penumpang kapal itu dibawa mengelilingi Krakatau, hanya seminggu setelah Krakatau untuk pertama kalinya meletus pada Mei 1883. Bahkan, kapten kapal GG Loudon, TH Lindeman, menyediakan sebuah perahu kecil agar para peserta dapat menjejakkan kaki di Pulau Krakatau yang tengah menggelegak.

"Pemandangan pulau itu fantastis: pulau itu telanjang dan kering, hutan tropisnya yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti keluar dari oven," tulis AL Schuurman, yang turut dalam kapal GG Loudon.

Pemandangan asap yang keluar dari puncak di Krakatau dan hutan lebat yang terbakar akibat letusan memesona kalangan kaya Belanda di Jakarta. Kapal GG Loudon pun rutin membawa penumpang melintas di sekitar Krakatau. Bahkan, saat Krakatau akhirnya meletus hebat dan mengirim tsunami pada 27 Agustus 1883, GG Loudon tengah berada di perairan Selat Sunda membawa 111 penumpang. Kapal ini selamat karena nasib baik.

Sebagaimana riwayat pendahulunya, asap dan batu pijar yang dilontarkan Anak Krakatau saat ini juga menjadi atraksi utama wisata. Sejak muncul tahun 1927, Anak Krakatau menjadi primadona di kompleks kepulauan Krakatau. Bahkan, pariwisata di kawasan Pantai Anyer-Carita hingga Lampung tak akan bergairah tanpa daya dukung Anak Krakatau dan aktivitasnya.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Banten Achmad Sari Alam mengatakan, pada saat gelombang Selat Sunda tidak tinggi dan cuaca cerah, wisatawan dapat diajak melihat panorama Anak Krakatau lengkap dengan lelehan lava pijar ataupun letupan seperti kembang api pada malam hari ketika gunung api tersebut sedang beraktivitas.

Samuel (30) dari Italia datang ke pesisir Pasauran, Banten, bersama tiga temannya, termasuk yang tertarik dengan aktivitas Krakatau. Mereka pernah mendengar tentang sejarah kedahsyatan letusan Krakatau dan menghabiskan sekitar dua hari berkeliling di kawasan itu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com