Oleh Azhari
Teriakan "Gempa...gempa...," membangunkan orang-orang yang spontan keluar dari rumah manakala bumi Aceh, Rabu, sekira pukul 05.15 WIB bergoyang.
Dalam hitungan menit, sebagian besar warga, terutama mereka yang berdomisili di desa yang berdekatan dengan pantai, bergegas pergi mencari dataran tinggi meski tidak sedikit juga yang bertahan di rumah.
Bagi sebagian warga Aceh, gempa pada subuh hari itu mengingatkan kembali pada gempa 26 Desember 2004 yang disusul tsunami hebat.
"Bagaimana saya tidak mengungsi, peristiwa tsunami lima tahun lalu masih membekas dalam diri kami sekeluarga," kata Joni, warga Banda Aceh.
Situasi tersebut tidak hanya dialami Joni dan keluarganya, tapi juga sebagian warga yang desanya berjarak sekitar satu hingga dua kilometer dari pesisir pantai Kota Banda Aceh.
Suasana pagi hari itu bertambah mencekam menyusul terputusnya aliran listrik PT PLN yang membuat Banda Aceh dan wilayahnya lainnya gelap gulita.
"Perasaan saya jadi tidak enak, ayo kita mengungsi ke Lambaro. Saya khawatir sekali akan terjadi tsunami seperti lima tahun lalu," kata Saifuddin, warga Kelurahan Beurawe, Kota Banda Aceh.
Warga bergegas, ada yang naik motor, mobil, dan becak, bahkan dump truk, berburu mencari dataran tinggi pascagempa kuat. Suasana jalan raya yang sebelumnya sepi, mendadak padat pada subuh hari itu.
Tsunami atau bagi masyarakat kepulauan Simeulue disebut dengan smong membekas kuat dalam diri penduduk di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.