Sudah 30 tahun Hartika berkecimpung dalam kegiatan riset produksi sel surya. Ia sedang meriset proyek percontohan pabrikasi sel surya skala 2 juta wattpeak di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung.
Jauh hari sebelumnya, ia sudah menguasai teknik produksi sel surya. Tetapi, industri yang dinanti tak kunjung datang. Pemerintah pun bergeming, diam seribu bahasa.
Pada masa Orde Baru sebenarnya Hartika memperoleh anugerah Satyalancana Pembangunan dari Presiden Soeharto (1997). Penghargaan itu dia dapatkan atas perannya dalam Lapangan Pembangunan Bidang Industri Strategis: Proses dan Produksi Komponen Sel Surya, Listrik Tenaga Surya untuk Sejuta Rumah.
Bagi Hartika, saat itu ada secercah harapan akan segera muncul industri sel surya di dalam negeri. Didorong pula peristiwa tahun sebelumnya, 1996, Istana Negara meminta 50 panel sel surya untuk
Pembuatannya masih dengan metode
Ketika itu, Soeharto meminta dan memberikan 50 panel sel surya itu untuk pertukaran cendera mata dengan Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia datang dan menyampaikan tiga mobil Proton Saga, mobil nasional kebanggaan negeri jiran itu. Dari Indonesia, dipilih penukar ciedera mata berupa sel surya hasil pengembangan riset Hartika. Ini untuk mengimbangi Malaysia. Soeharto ingin menunjukkan Indonesia tak kalah maju di bidang teknologi.
Malaysia boleh unjuk gigi, mampu membikin mobil sendiri. Indonesia tidak mau kalah dengan menunjukkan teknologi sel surya ”bikinan sendiri”.
Entah apa yang dikatakan Soeharto kepada Pemerintah Malaysia waktu itu. Sel surya itu sebenarnya masih sebagai produk skala laboratorium Hartika di PT LEN. Belum ada pabrikasinya, bahkan sampai dua tahun menjelang Hartika pensiun pada usia 65 tahun pada 2011. Memang ironis.