Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laboratorium Sel Surya Hartika

Kompas.com - 05/02/2010, 03:31 WIB

Oleh NAWA TUNGGAL

Kalimat yang diucapkannya bukan ungkapan kekesalan, melainkan kesetiaan. ”Saya tua di laboratorium. Tetapi, tetap saja sampai sekarang belum berdiri industri sel surya,” kata Ika Hartika Ismet di Bandung, Jawa Barat. 

Sudah 30 tahun Hartika berkecimpung dalam kegiatan riset produksi sel surya. Ia sedang meriset proyek percontohan pabrikasi sel surya skala 2 juta wattpeak di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung.

Jauh hari sebelumnya, ia sudah menguasai teknik produksi sel surya. Tetapi, industri yang dinanti tak kunjung datang. Pemerintah pun bergeming, diam seribu bahasa.

Pada masa Orde Baru sebenarnya Hartika memperoleh anugerah Satyalancana Pembangunan dari Presiden Soeharto (1997). Penghargaan itu dia dapatkan atas perannya dalam Lapangan Pembangunan Bidang Industri Strategis: Proses dan Produksi Komponen Sel Surya, Listrik Tenaga Surya untuk Sejuta Rumah.

Bagi Hartika, saat itu ada secercah harapan akan segera muncul industri sel surya di dalam negeri. Didorong pula peristiwa tahun sebelumnya, 1996, Istana Negara meminta 50 panel sel surya untuk solar home system yang dirancang Hartika di PT LEN Industri (Persero) Bandung.

Pembuatannya masih dengan metode screen printing, yaitu metode yang tergolong awal untuk proses produksi sel surya. Metode ini sekarang relatif sudah tertinggal. Inovasi yang berkembang menjadi metode spray phosphor, kemudian metode disposisi SiNx yang semakin efisien.

Ketika itu, Soeharto meminta dan memberikan 50 panel sel surya itu untuk pertukaran cendera mata dengan Pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia datang dan menyampaikan tiga mobil Proton Saga, mobil nasional kebanggaan negeri jiran itu. Dari Indonesia, dipilih penukar ciedera mata berupa sel surya hasil pengembangan riset Hartika. Ini untuk mengimbangi Malaysia. Soeharto ingin menunjukkan Indonesia tak kalah maju di bidang teknologi.

Malaysia boleh unjuk gigi, mampu membikin mobil sendiri. Indonesia tidak mau kalah dengan menunjukkan teknologi sel surya ”bikinan sendiri”.

Entah apa yang dikatakan Soeharto kepada Pemerintah Malaysia waktu itu. Sel surya itu sebenarnya masih sebagai produk skala laboratorium Hartika di PT LEN. Belum ada pabrikasinya, bahkan sampai dua tahun menjelang Hartika pensiun pada usia 65 tahun pada 2011. Memang ironis.

Hartika mengungkapkan, sel surya sebagai teknologi ramah lingkungan pada era 1994 mulai marak di dunia. Saat itu, Jepang mengimplementasikannya untuk program One Million Roof, sejuta atap rumah dengan sel surya. Pada 1997, The European Commision menyusul dengan One Million Solar Residential System, dan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton menempuh One Million Roof. Pada 1997, Soeharto mencanangkan program ”Listrik Tenaga Surya untuk Sejuta Rumah” di pedesaan terisolasi dengan setiap rumah 50 wattpeak (Wp). Dananya dari utang lunak luar negeri.

Hitung-hitungan Hartika, program itu akan mengimplementasikan sejuta kali 50 Wp sel surya menjadi 50 megawattpeak (MWp). Ini ditargetkan selesai pada 2004. Namun, sampai kini diketahui hanya terlaksana sebesar 9 MWp.

Untuk kesekian kalinya, harapan Hartika makin kuat akan adanya industri sel surya dalam negeri. Akan tetapi, kenyataan bicara lain. Itulah sebabnya mengapa Hartika kemudian mengatakan, meskipun dia tua di laboratorium, tetap saja industri sel surya tak berdiri.

Perkara berani

Meskipun Indonesia sudah memulai, menurut Hartika, negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, ternyata yang lebih dulu membuat pabrikasi sel surya.

Itu bukan karena para ahli mereka yang lebih dulu mampu membuat sel surya, melainkan ini lebih karena pemerintah negara-negara itu berani memutuskan membuat industri sel surya.

Menurut Hartika, bagi Indonesia, mendirikan industri sel surya sebenarnya bukanlah perkara bisa atau tidak bisa. Tetapi, untuk mewujudkannya diperlukan keberanian dari pemerintah.

”Ini perkara keberanian pemerintah untuk memberikan keputusan yang nyaman dan aman bagi investor. Tujuannya juga untuk memberikan manfaat kesejahteraan khalayak,” katanya.

Selepas studi Jurusan Elektronika Institut Teknologi Bandung (ITB), Hartika lalu bergabung di Lembaga Elektronika Nasional (LEN)—masih di bawah LIPI. Pada 1991, pemerintah mengubah LEN-LIPI menjadi PT LEN Industri (Persero), sebagai badan usaha milik negara yang terpisah dengan LIPI.

Tahun 1976, dia mendalami ilmu semikonduktor di Universitas Lancaster, Inggris. Hartika sempat memilih kembali ke Tanah Air ketika keinginannya untuk studi ilmu semikonduktor ditolak. Sebaliknya, ia diminta memilih studi superkonduktor.

”Alasannya waktu itu, semikonduktor sudah cukup saya pelajari di tingkat S-1,” ujarnya. Selain itu, mempelajari superkonduktor, dikatakan, akan jauh lebih bermanfaat. Terlebih waktu itu ada kerja sama riset dengan sebuah perusahaan untuk pengembangan superkonduktor.

”Saya tetap ngotot. Kalau tidak diizinkan belajar semikonduktor, lebih baik pulang,” kata Hartika. Keinginannya itu kemudian dikabulkan. Ia menyelesaikan S-2 di Lancaster selama 13 bulan.

Tahun 1979, Hartika berkesempatan mendalami teknologi sel surya di Osaka, Jepang. Pada tahun-tahun berikutnya ia terus menimba ilmu sel surya di sejumlah negara di Eropa, Asia, juga Amerika Serikat.

Berkat konsistensi, kesetiaan, dan penguasaan teknologi proses produksi sel surya yang dia miliki, Juni 2007, Hartika dikukuhkan sebagai profesor riset oleh Kepala LIPI Umar Anggara Djenie di Jakarta. Sebulan kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Satyalancana Karya Satya XXX untuk dia.

Sayang, di bidang kemandirian teknologi ini, pemerintah masih sebatas menyampaikan penghargaan. Para periset tentu berharap, pemerintah berani dan segera mengimplementasikan hasil riset teknologi mereka.

IKA HARTIKA ISMET

• Lahir: Tasikmalaya, Jawa Barat, 9 Oktober 1946

• Suami: Ismet Adieb Mas'oed

• Anak:

- Melati Irawati

- Kemuning Hediati

- Cempaka Indah Hayati

• Pendidikan:

- Sekolah Rakyat Latihan, Tasikmalaya, 1953-1959

- SMP I Tasikmalaya, 1959-1962

- SMA Tasikmalaya, 1962-1965

- Institut Teknologi Bandung, 1964-1974

- Universitas Lancaster, Inggris, 1976-1977

• Pekerjaan: Periset Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI • Karya Tulis Ilmiah: 70 judul

• Penghargaan:

- Adhicipta Rekayasa Bidang Proses Sel Surya dari Persatuan Insinyur Indonesia, 1994

- Satyalancana Pembangunan Bidang Proses dan Produk Komponen Sel Surya, Listrik tenaga Surya untuk Sejuta Rumah dari Presiden Soeharto, 1997 - Satyalancana Karya Satya XX Tahun dari Presiden Soeharto, 1997

- Karyawan Berprestasi Terbaik PT LEN Industri (Persero), 1997/1998

- Satyalancana Karya Satya XXX Tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juli 2007

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau