KOMPAS.com – Belajar dari kebakaran hutan pada 2015, Sumatera Selatan merancang dan mengembangkan konsep baru dalam tata laksana lingkungan hidup berkelanjutan. Wujudnya, Kemitraan Pengelolaan Lanskap (Kelola) Sembilang Dangku (Sendang). Apakah itu?
“Restorasi hutan merupakan masalah yang dekat dengan jantung Indonesia,” ujar Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, Senin (5/9/2016).
Berbicara di depan forum International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) World Conservation Congres (WCC) 2016, Alex menegaskan bahwa Sumatera Selatan merupakan rumah bagi beberapa hutan hujan.
“(Hutan hujan) dengan keanekaragaman hayati di dunia, lebih dari 10.000 spesies tanaman, serta merupakan satu-satunya tempat di dunia di mana gajah, badak, harimau, dan orangutan secara alami ditemukan bersama-sama,” ungkap Alex.
Kebakaran hutan pada 2015, tutur Alex, melalap sekitar 700.000 hektar lahan dan hutan di wilayahnya. Dari sini, muncul kesadaran untuk mencegah peristiwa serupa terjadi.
“Kami kembangkanlah kemitraan multi-stakeholder untuk mengelola sumber daya alam yang tersisa, melalui program kemitraan dalam pengelolaan ecoregion dan landscape,” papar Alex.
Inilah pemikiran yang melatari kelahiran Kelola Sendang. Sebagai catatan, Sembilang dan Dangku adalah dua nama lokasi konservasi di Sumatera Selatan, yaitu Taman Nasional Sembilang di Banyuasin dan Hutan Suaka Margasatwa Dangku di Musi Banyuasin.
Paradigma baru
Menurut Alex, konsep tersebut merupakan paradigma baru dari manajemen lanskap yang berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini dilakukan dengan pendekatan terpadu, yang salah satu tujuannya juga turut mengurangi efek emisi gas rumah kaca.
Ke depan, skema konservasi tersebut diharapkan akan memberikan pula manfaat bagi masyarakat lokal sekaligus melindungi habitat dan spesies di taman nasional.
Dalam pelaksanaannya, Kelola Sendang melibatkan pula sejumlah lembaga non-pemerintah dan swasta. Di antaranya, sebut Alex, Asia Pulp and Paper (APP), IDH, GIZ, ZSL Inggris. NICFI, Dana CPO Indonesia, dan Belantara Foundation.
“(Lembaga dan institusi) yang memainkan peran utama dalam perlindungan hutan Indonesia dan peningkatan produktivitas serta penghidupan petani kecil atau masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan,” terang Alex tentang lembaga dan perusahaan tersebut.
Program-program di dalamnya, papar Alex, dirancang untuk konservasi dan restorasi hutan. Juga, lanjut dia, peningkatan keterampilan masyarakat lokal, termasuk dengan Kelola Sendang Forum.
Forum tersebut, kata Alex, merupakan cara yang terpadu, menjamin keberhasilan maksimum dan tertinggi dampak jangka panjang dalam menggunakan kontribusi publik dan swasta secara efektif dan efisien.
“Proyek ini diusulkan untuk mencapai pertumbuhan inklusif ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan hutan dan pemulihan, serta akhir dari deforestasi dan kebakaran lahan gambut dan hutan,” tegas Alex.