Kelola Sendang, Kemitraan Konservasi ala Sumatera Selatan

Kompas.com - 08/09/2016, 22:20 WIB


KOMPAS.com
– Belajar dari kebakaran hutan pada 2015, Sumatera Selatan merancang dan mengembangkan konsep baru dalam tata laksana lingkungan hidup berkelanjutan. Wujudnya, Kemitraan Pengelolaan Lanskap (Kelola) Sembilang Dangku (Sendang). Apakah itu?

“Restorasi hutan merupakan masalah yang dekat dengan jantung Indonesia,” ujar Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, Senin (5/9/2016).

Berbicara di depan forum International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) World Conservation Congres (WCC) 2016, Alex menegaskan bahwa Sumatera Selatan merupakan rumah bagi beberapa hutan hujan.

“(Hutan hujan) dengan keanekaragaman hayati di dunia, lebih dari 10.000 spesies tanaman, serta merupakan satu-satunya tempat di dunia di mana gajah, badak, harimau, dan orangutan secara alami ditemukan bersama-sama,” ungkap Alex.

Kebakaran hutan pada 2015, tutur Alex, melalap sekitar 700.000 hektar lahan dan hutan di wilayahnya. Dari sini, muncul kesadaran untuk mencegah peristiwa serupa terjadi.

“Kami kembangkanlah kemitraan multi-stakeholder untuk mengelola sumber daya alam yang tersisa, melalui program kemitraan dalam pengelolaan ecoregion dan landscape,” papar Alex.

Inilah pemikiran yang melatari kelahiran Kelola Sendang. Sebagai catatan, Sembilang dan Dangku adalah dua nama lokasi konservasi di Sumatera Selatan, yaitu Taman Nasional Sembilang di Banyuasin dan Hutan Suaka Margasatwa Dangku di Musi Banyuasin.

Paradigma baru

Menurut Alex, konsep tersebut merupakan paradigma baru dari manajemen lanskap yang berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini dilakukan dengan pendekatan terpadu, yang salah satu tujuannya juga turut mengurangi efek emisi gas rumah kaca.

Ke depan, skema konservasi tersebut diharapkan akan memberikan pula manfaat bagi masyarakat lokal sekaligus melindungi habitat dan spesies di taman nasional.

Dalam pelaksanaannya, Kelola Sendang melibatkan pula sejumlah lembaga non-pemerintah dan swasta. Di antaranya, sebut Alex, Asia Pulp and Paper (APP), IDH, GIZ, ZSL Inggris. NICFI, Dana CPO Indonesia, dan Belantara Foundation.

“(Lembaga dan institusi) yang memainkan peran utama dalam perlindungan hutan Indonesia dan peningkatan produktivitas serta penghidupan petani kecil atau masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan,” terang Alex tentang lembaga dan perusahaan tersebut.

Dok Pemprov Sumatera Selatan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin memaparkan konsep Kemitraan Pengelolaan Lanskap (Kelola) Sembilang Dangku (Sendang) di forum International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) World Conservation Congres (WCC) 2016 di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, Senin (5/9/2016).

Kelola Sendang, ungkap Alex, diinisiasi oleh Zoological Society of London dan didanai oleh Pemerintah Norwegia melalui Norwegia International Climate and Forest Initiative (NICFI) Pemerintah Inggris melalui Perubahan Iklim Satuan British Embassy UK (UKCCU) dan David and Lucile Packard Foundation.

Program-program di dalamnya, papar Alex, dirancang untuk konservasi dan restorasi hutan. Juga, lanjut dia, peningkatan keterampilan masyarakat lokal, termasuk dengan Kelola Sendang Forum.

Forum tersebut, kata Alex, merupakan cara yang terpadu, menjamin keberhasilan maksimum dan tertinggi dampak jangka panjang dalam menggunakan kontribusi publik dan swasta secara efektif dan efisien.

“Proyek ini diusulkan untuk mencapai pertumbuhan inklusif ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan hutan dan pemulihan, serta akhir dari deforestasi dan kebakaran lahan gambut dan hutan,” tegas Alex.

Grand design-nya, ujar Alex, diciptakan untuk melibatkan pemerintah, swasta, dan perseorangan, dalam membangun pengelolaan lahan yang efektif.

Dukungan juga datang dari kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk produksi dan perlindungan, pemantauan, serta verifikasi kegiatan yang mengarah pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

Rinciannya, Kelola Sendang menggandeng Belantara Foundation dan Asia Pulp and Paper (APP) di Meranti Bentayan Musi Banyusin. Lalu, bekerja sama dengan Lalan Landscape menggarap Model Produksi dan Perlindungan Sustainable Palm Oil dengan Indonesia Dana CPO dan DH.

Juga, ada kerja sama dengan GIZ Bioclime Jerman di Merang Landscape untuk Keanekaragaman Hayati dan Proyek Perubahan Iklim. Adapun kerja sama dengan Haki, Kelola Sendang akan fous pada isu perhutanan sosial dan restorasi konflik.

“Semua (kerja sama) ini (mencakup) dataran rendah, hutan hujan, dan kubah gambut, yang merupakan habitat penting bagi satwa liar dan berbagai jenis pohon bernilai tinggi dan burung,” tegas Alex.

Imbauan 1.300 tahun

Alex pun berharap IUNC WCC 2016 menjadi ajang untuk mengajak masyarakat internasional bergabung bersama mengambil tindakan mendukung pentingnya kondisi alam di Sumatera Selatan.

“Hal ini penting agar konservasi alam dapat memberikan manfaat nyata bagi keanekaragaman hayati, masyarakat, dan pembangunan berkelanjutan,” ujar Alex.

Alex sempat pula bertutur, Sri Baginda Sri Jayanasa pun sudah mengimbau mayarakat melestarikan lingkungan dan hutan, sejak lebih dari 1.300 tahun yang lalu. Caranya, dengan menanam pohon, membangun drainase, dan mengelola sumber air.

“(Imbauan itu) tertuang di prasasti Talang Tuwo. Ini adalah semangat kami dalam melestarikan planet ini, Kita perlu terus mendukung visi ini,” tegas Alex.

KOMPAS.com/AMRIZA NURSATRIA Satu batang pohon gelam tampak mulai terbakar akibat tersambar api dari kebakaran lahan gambut di Desa Soak Batok Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (4/8/2016).

Bersamaan dengan Kelola Sendang dan selaras dengan program IUCN, lanjut Alex, di Sumatera Selatan sudah ada pula Badan Restorasi Gambut (BRG).

Menurut dia, kompleksitas masalah di wilayahnya butuh eksplorasi cara untuk memastikan konservasi dan pembangunan dapat berjalan beriringan.

BRG dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016. Untuk Sumatera Selatan, targetnya pada 2020 telah terlaksana pemulihan 407.163 hektar lahan gambut.

Alex menjelaskan, pendekatan ini penting untuk memanfaatkan lahan gambut terdegradasi dengan spesies endemik, sekaligus mencegah emisi lebih lanjut dari gas rumah kaca dari kebakaran lahan gambut.

“Hari ini, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia, telah tegas mendukung inisiatif untuk kemitraan di daerah, antara pemerintah, LSM, konservasi, ilmuwan, Konsumen, produsen, pengusaha, akar rumput, dan organisasi masyarakat adat,” tegas Alex.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, lanjut Alex, mendesak semua pemangku kepentingan di wilayahnya untuk menyatukan pengetahuan masing-masing, alat, dan sumber daya, demi mengamankan sistem dukungan alam.

“Sehinga kemanusiaan dan masyarakat yang lebih besar dapat terus makmur,” ujar Alex.

Sumatera Selatan, kata Alex, saat ini merupakan satu-satunya provinsi yang telah merintis dan secara riil sudah menjalankan kegiatan restorasi lanskap berbasis hutan dan mitra. Umumnya, upaya semacam ini terkendala koordinasi dan pendanaan.

Platform kelembagaan yang jelas dan tim kerja yang kompak adalah kunci dari banyaknya donor yang berpatisipasi di Sumatera Selatan,” ungkap Alex.

Staf Ahli Bidang Perubahan Iklim Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Kartini Syahrir, dalam kesempatan yang sama mengapresiasi konsep kemitraan untuk konservasi di Sumatera Selatan ini.

“Kami akan menyampaikan ke Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya untuk menjadikan konsep ini sebagai percontohan nasional,” kata Kartini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau