Tirakat Bung Hatta di Digoel

Kompas.com - 18/05/2015, 22:31 WIB

Oleh ALOYSIUS B KURNIAWAN

KOMPAS.com - "Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku" (Bung Hatta).

Mohammad Hatta menulis renungan itu pada 20 Januari 1934, beberapa saat sebelum dirinya ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Ia sadar akan menghadapi konsekuensi serius akibat aktivitas politiknya.

Dan benar. Tak lama sesudah itu Bung Hatta bersama tokoh-tokoh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), seperti Sutan Sjahrir, Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, dan Moerwoto, akhirnya diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digoel, pelosok Papua bagian selatan. Bagi para pejuang pergerakan, daerah itu adalah tempat pembuangan yang paling menyeramkan.

"Digoel merupakan semacam kamp konsentrasi yang dibuat kolonial. Tempatnya sangat terpencil di pinggir Sungai Digoel, yang banyak buaya ganasnya sehingga siapa pun akan sulit melarikan diri," kata sejarawan Anhar Gonggong, awal April 2015.

Bondan memaparkan perjalanan panjang pembuangan mereka dalam catatan hariannya yang disusun Molly Bondan, Spanning A Revolution, Kisah Mohammad Bondan, Eks-Digulis, dan Pergerakan Nasional Indonesia (2008).

Awalnya, Bung Hatta dan Bondan ditampung terlebih dulu di penjara Glodok, Jakarta, kemudian Maskun, Burhanuddin, dan Suka di Penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, sementara Sjahrir ditampung di Penjara Cipinang, Jakarta Timur.

Mereka lalu diangkut menggunakan Kapal Melchior Treub dari Tanjung Priok. Setelah singgah beberapa hari di Makassar, Sulawesi Selatan, mereka lantas diangkut dengan kapal Pijnacker Hordijk milik Koninklijk Pakketvaart Maatschappij (KPM) ke Ambon. Dari sana, mereka dipindahkan lagi ke Kapal Albatros atau biasa disebut kapal putih untuk diangkut menuju Digoel.

Pedalaman Digoel sangat sulit ditembus. Satu-satunya moda transportasi yang bisa menjangkau tempat tersebut saat itu hanya kapal. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mencapai Tanah Merah, yang jaraknya sekitar 500 kilometer dari muara Sungai Digoel di Laut Arafura.

Begitu kapal putih merapat di Dermaga Tanah Merah, siapa pun harus bersiap menghadapi ancaman mematikan Papua: penyakit malaria! Ali Archam, digoelis (sebutan untuk orang buangan di Digoel) yang diasingkan di Tanah Tinggi, Boven Digoel, sekitar 40 kilometer di atas Tanah Merah, meninggal akibat serangan malaria. Karena tantangan hidup yang sangat berat, sebagian orang buangan bahkan mengalami sakit saraf hingga gangguan jiwa.

Namun, karena sudah siap lahir dan batin, Bung Hatta tak risau dengan dirinya. Di tempat pembuangan, Bung Hatta masuk dalam golongan naturalis karena tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia hanya mendapat jatah uang 2.50 gulden per bulan.

Dalam wawancara Deliar Noer dengan Moerwoto di buku Mohammad Hatta Biografi Politik (1990), Bung Hatta sempat ditawari pekerjaan oleh pengawas kamp dengan upah 7.50 gulden per bulan. Namun, ia menolaknya.

Jika sejak awal mau berkompromi dengan Belanda, di Jakarta pun, Bung Hatta sebenarnya bisa mendapat gaji jauh lebih sekitar 500 gulden per bulan. Namun, dia sengaja memilih bermati raga alias tirakat di tempat pembuangan demi memperjuangkan ideologi kebangsaan. Keutamaan karakter ini sangat langka dijumpai pada pemimpin-pemimpin masa kini.

Di tempat pengasingan, Bung Hatta mencari nafkah secara terhormat dengan menulis di sejumlah surat kabar, seperti Adil, Pemandangan, Panji Islam, atau Pedoman Masyarakat. Honornya untuk tambahan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di pembuangan, Bung Hatta juga menyempatkan diri mengajar para digoelis, mulai dari ilmu politik, ekonomi, sosiologi, hingga filsafat. Pengucilan fisik tidak mampu membelenggu pikiran dan gagasan tokoh ini.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau