Tirakat Bung Hatta di Digoel

Kompas.com - 18/05/2015, 22:31 WIB

Hanya sebulan setelah tiba di Digoel, Hatta membuka kursus belajar filsafat, sejarah, dan ekonomi. Bondan adalah salah satu muridnya untuk mata pelajaran ekonomi.

Dicabut dari "akarnya"

Belanda sengaja mengucilkan Bung Hatta ke Digoel. Menurut sejarawan Hilmar Faried, dengan dikucilkan, tokoh-tokoh pergerakan nasional tidak akan bisa melebarkan sayap pengaruhnya. Mereka benar-benar dicabut dari akar komunitasnya.

"Gubernur Jenderal memiliki hak istimewa exorbitante rechten. Dengan hak ini, Gubernur Jenderal bisa menindak orang-orang tertentu demi menjaga ketertiban dan keamanan umum. Salah satunya, dengan mengasingkan mereka ke suatu tempat, tanpa melalui putusan pengadilan," paparnya.

Namun, upaya pembungkaman itu tidak mampu mematikan langkah Bung Hatta dan tokoh-tokoh pergerakan lain. "Semakin mereka dibatasi, justru pergerakannya semakin kuat," kata Thimotius Anok, tokoh masyarakat sekaligus Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boven Digoel.

Masih terpelosok

Sekarang, 81 tahun setelah pengasingan Bung Hatta, Digoel belum banyak berubah. Kawasan ini masih tetap menjadi kabupaten terpelosok di ujung selatan Papua meski sudah bisa dijangkau lewat darat dan udara.

Saat cuaca baik, perjalanan darat dari Merauke ke Boven Digoel bisa ditempuh dalam waktu 7-9 jam. Namun, begitu musim hujan, jalur darat terhambat jalanan yang hancur dan rusak parah.

Saat Kompas mengunjungi Digoel, awal April 2015, banyak mobil terjebak di kubangan lumpur di ruas jalan Merauke-Boven Digoel. Hanya mobil-mobil berpenggerak empat roda yang bisa melintas. Itu pun dengan susah payah dan lama. Ketersediaan pesawat menuju Bandara Boven Digoel juga masih sangat terbatas dengan daya muat pesawat maksimal hanya tujuh penumpang.

Sekitar empat hingga lima tahun lalu, orang bahkan bisa berhari-hari atau berminggu-minggu tinggal di jalan karena akses darat menuju Digoel sulit ditembus. Begitu juga dengan kapal. Penumpang membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke kawasan itu.

"Bisa dibayangkan bagaimana sangat terasingnya tempat ini saat pemerintah kolonial membawa Bung Hatta dan orang-orang buangan lain. Sebagai perbandingan, saat ini untuk menelusuri Sungai Boven Digoel dari Digoel ke Mappi menggunakan kapal cepat butuh waktu tiga hari dan menghabiskan bahan bakar minyak hingga Rp 10 juta. Dulu, kapal putih pasti perlu waktu lebih lama sampai ke Tanah Merah," ujar Pastor Paroki Hati Kudus Tanah Merah Jhems Kumolontang MSC.

Kegigihan Bung Hatta tinggal di Boven Digoel, menurut Anhar Gonggong, menjadi titik penting untuk membangun kesadaran bahwa Indonesia ini dibangun oleh orang-orang yang bersedia menderita. "Pemimpin sekarang tidak ada yang mau menderita. Mereka menuntut segala macam fasilitas dan kemudahan, tidak memikirkan apa yang diberikan untuk bangsa," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau