Gempa yang hingga saat berita ini diturunkan menewaskan 2.000 orang itu seharusnya bukan hanya menjadi tontonan dan memicu keprihatinan, tetapi juga menjadi bahan pelajaran.
Gempa Nepal merupakan gempa dangkal. Pusat gempanya hanya 15 kilometer dari permukaan tanah. Gempa dangkal di daratan itu memang cenderung lebih mematikan.
Guncangan gempa di Nepal tinggi, mencapai 9 MMI. Tingginya guncangan gempa terjadi akibat wilayah sekitar Kathmandu yang terbentuk dari lapisan tanah lunak, yang dahulu adalah danau purba.
Kasus yang sama pernah terjadi di Indonesia, yaitu gempa Yogyakarta yang berkekuatan 6,5 SR pada 27 Mei 2006.
Pusat gempa Yogyakarta berada di kedalaman hanya 17 kilometer. Sesar penyebab gempa sendiri berada di wilayah padat penduduk.
Parahnya dampak gempa juga dipicu oleh karakter tanah Yogyakarta yang merupakan endapan vulkanik nan rapuh.
Lapisan tanah yang rapuh dan lunak akan mengamplifikasi gelombang gempa. Akibatnya, guncangan terasa lebih keras, dan kerusakan lebih parah.
Belajar dari kasus gempa Nepal dan Yogyakarta, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi gempa dangkal.
"Infrastuktur di beberapa kota besar padat penduduk di Indonesia harus dipersiapkan untuk menghadapi guncangan keras akibat gempa," kata Irwan Meilano.
Irwan yang merupakan pakar tektonik Pusat Penelitian Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan bahwa Kota Bandung berpotensi mengalami gempa yang sama dengan Nepal dan Yogyakarta.
"Kota Bandung memiliki sedimen tebal yang menutupi danau Bandung purba," katanya kepada Kompas.com, Minggu (26/4/2015).
Persiapan infrastruktur kota yang tahan gempa serta masyarakat yang tanggap bencana diperlukan untuk mengurangi tumbangnya korban manusia.
Gempa Nepal juga perlu menjadi pelajaran sebab banyak gempa di Indonesia mengakibatkan longsor, seperti halnya gempa Nepal memicu longsor di Everest.
Pakar gempa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengungkapkan, longsor Everest terjadi karena jarak dengan pusat gempa kurang dari 100 kilometer.