Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Sinisme Kita pada Keraton Agung Sejagat Ancam Kebudayaan Jawa Tradisional

Kompas.com - 24/01/2020, 19:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Dhoni Zustiyantoro


KASUS Keraton Agung Sejagat” di Purworejo, Jawa Tengah, membuat geger masyarakat.

Kasus ini bermula dari klaim sepihak dua orang bernama Toto Santoso dan Fanni Aminadia yang mengatakan mereka adalah “raja” dan “permaisuri” dari “Keraton Agung Sejagat”, sebuah kerajaan penerus Majapahit. Mereka merekrut ratusan anggota dan meminta iuran jutaan rupiah per bulan untuk melakukan ritual dan kirab budaya.

Meski pihak kepolisian sudah menangkap Toto dan Fanni atas tuduhan tindak pidana penipuan dan kedua orang itu juga mengakui kejahatan mereka, pelbagai informasi yang telanjur ramai di media berpotensi membuat masyarakat sinis terhadap aktivitas kebudayaan Jawa tradisional.

Kamus Besar Bahasa Indonesia daring menjelaskan sikap sinis sebagai perilaku mengejek dan memandang rendah atau sikap yang membuat orang tidak bisa melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu.

Rasa sinis yang muncul pada masyarakat tersebut dapat mengancam kewibawaan keraton dan pengaruh budaya Jawa tradisional yang selama ini menjadi simbolisasi dari nilai budaya yang adiluhung, yang diyakini penting nilainya bagi masyarakat Jawa.

Sinisme masyarakat

Sinisme tak bisa dilepaskan dari teori persepsi.

Menurut teori psikologi Gestalt, yang dicetuskan oleh tiga ahli psikologi asal Eropa Max Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler pada abad ke-19, manusia membaca makna bentuk pada sebuah simbol sebagai representasi atas suatu hal sebagai suatu kesatuan dan tidak mampu membedakannya bagian per bagian.

Perilaku sinis terhadap simbol-simbol penting dalam kebudayaan Jawa seperti keraton, kostum, senjata, singgasana raja, kuda, ritual, prasasti, dan pendapa dapat muncul ketika masyarakat melihatnya juga sebagai representasi dari kebudayaan yang “palsu dan menipu” dari kasus “Keraton Agung Sejagat”.

Padahal, simbol-simbol tersebut bernilai sakral buat masyarakat Jawa.

Mudjahirin Thohir, guru besar antropologi budaya Universitas Diponegoro Semarang menyebutkan bahwa ritual dan simbol-simbol dalam kebudayan Jawa menjadi sarana penting untuk mewujudkan penghormatan kepada Tuhan dan cara manusia mewujudkan penghormatan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, jadi tidak boleh sembarangan digunakan.

Masyarakat Jawa menggunakan makna simbolik dalam aktivitas kebudayaan sebagai pedoman hidup yang sudah mengakar. Mereka melakukan ritual kebudayaan sebagai doa dan bentuk rasa bersyukur kepada Tuhan atas keselamatan, kesehatan, dan rezeki.

Pelbagai produk kebudayaan yang berasal dari keraton, antara lain berupa seni tari, tembang, karawitan, tingkat tutur bahasa dan upacara adat, yang dipercaya menjadi sarana mengajarkan pendidikan karakter kepada generasi penerus.

Sikap sinis masyarakat yang muncul terhadap keberadaan simbol-simbol kebudayaan Jawa dapat mengancam kesakralan simbol-simbol tersebut.

Persepsi sinis juga muncul karena sentimen agama yang begitu kuat. Tidak bisa dimungkiri bahwa di tengah masyarakat ada golongan yang mempersepsikan kebudayaan merupakan antitesis dari agama.

Meski pemerintah menyatakan agama dan kebudayaan tak bisa dipisahkan, tapi realitas di lapangan menunjukkan hal berbeda.

Konflik sebagai akibat aktivitas kebudayaan, termasuk beribadah menurut agama dan kepercayaan, terus terjadi. Konflik itu didasarkan pada asumsi bahwa berkebudayaan dengan semua atributnya adalah aktivitas di luar keagamaan yang menjadi sarana mendelegitimasi agama itu sendiri.

Kasus keraton palsu semakin mempertebal persepsi sinis golongan ini karena memperkuat argumen mereka bahwa ada aktivitas kebudayaan yang mengesampingkan dimensi ketuhanan dan harus ditinggalkan. Pemahaman seperti ini yang bisa mengancam aktivitas kebudayaan tradisional karena keberadaannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Dampak buruk

Sikap sinisme masyarakat atas kebudayaan Jawa akibat kasus keraton palsu dapat memberi dampak buruk terhadap upaya pelestarian kebudayaan Jawa.

Setelah kasus keraton palsu, beberapa orang yang meragukan keberadaan simbol-simbol Jawa dan organisasi terkait yang sebenarnya sudah mendapat pengakuan dari negara dan pemangku kebijakan.

Sikap skeptisme masyarakat seperti itu terjadi di Blora, Jawa Tengah. Tak lama setelah kasus Keraton Agung Sejagat muncul, masyarakat di Blora meragukan keberadaan Yayasan Keraton Jipang yang didirikan untuk melestarikan budaya Jawa setempat. Padahal, yayasan tersebut sudah mendapat pengakuan dari pemerintah.

Bukan tidak mungkin, setelah kasus keraton palsu, sentimen negatif terhadap segala aktivitas kebudayaan berpotensi meningkat.

Di tengah segala tantangan modern yang mengancam keberadaan produk kebudayaan Jawa, Kasus Keraton Agung Sejagat kian membuat budaya Jawa kian terancam.

Produk kebudayaan berupa kesenian tradisional bisa dipandang sebelah mata. Sanggar yang rutin menyelenggarakan kegiatan kebudayaan, hingga aktivitas para penghayat kepercayaan, semakin terdelegitimasi keberadaannya.

Celya Intan Kharisma Putri, dosen Universitas Airlangga Surabaya, menyebutkan bahwa persoalan penggunaan bahasa Jawa ragam krama, yaitu tingkat tutur paling tinggi dalam bahasa Jawa, bahkan sudah mulai memudar setidaknya sejak 1998.

Analisis Partisipasi Kebudayaan yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016 menyebutkan angka partisipasi masyarakat dalam aktivitas kebudayaan tradisional masih rendah yaitu di bawah 3%.

Dengan demikian, sikap sinisme terhadap kebudayaan Jawa setelah kasus keraton palsu muncul berpotensi membuat partisipasi dalam aktivitas kebudayaan menjadi semakin turun.

Pada akhirnya, tanpa narasi memadai bahwa motif “Keraton Agung Sejagat” hanyalah modus penipuan semata, maka nilai-nilai kebudayaan tradisional Jawa yang sudah rapuh di tengah tantangan era modern akan jadi taruhannya.

Untuk mencegah kasus sejenis ke depannya, pemerintah semestinya bisa segera menerbitkan daftar “keraton dan kerajaan Jawa resmi” yang diakui negara beserta trah dan garis sejarah yang jelas. Langkah tersebut bisa bisa menjadi upaya merawat persepsi positif publik terhadap kebudayaan Jawa di Indonesia.

Dhoni Zustiyantoro

Lecturer in Javanese Literature Study Program, Universitas Negeri Semarang

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Sikap sinis masyarakat atas kasus “Keraton Agung Sejagat” bisa ancam kebudayaan Jawa tradisional". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com