Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Keraton Agung Sejagat, Ini Cara Memahaminya Menurut Sosiolog

Kompas.com - 16/01/2020, 12:04 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Isu Keraton Agung Sejagat sedang menjadi bahan pembicaraan di antara masyarakat.

Pasalnya, berbarengan dengan klaim Toto Santoso Hadiningrat dan Dyah Gitarja sebagai raja dan ratu Keraton Agung Sejagat (KAS), muncul klaim-klaim luar biasa lainnya soal Keraton Agung Sejagat.

Sebagai contoh adalah klaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit dan Pentagon adalah milik Keraton Agung Sejagat.

Fenomena ini pun membuat banyak orang geleng-geleng kepala karena gagal paham.

Baca juga: Viral Keraton Agung Sejagat, Sejarawan Bantah Klaim Penerus Majapahit

Menurut Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Fuji Riang Prastowo, isu Keraton Agung Sejagat bukan hal yang baru terjadi di dunia dan harus dilihat dari konteksnya.

Pertama, adalah konteks di mana kasus seperti ini terjadi, yaitu di Indonesia atau di luar negeri.

Fuji mengatakan, beberapa masyarakat menginginkan apa yang disebut dengan "bayangan ideal" masyarakat yang utopis dari kondisi faktual yang mereka alami.

Utopis yang dimaksud ialah khayalan di mana orang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang hanya bagus dalam gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan.

Ini bisa menjelaskan kasus-kasus "micronations" (negara-negara mikro) di Eropa dan Amerika.

Sementara itu, untuk KAS yang berkonteks di Indonesia, maka ada dua sisi yang harus dilihat.

1. Siapa yang mendirikan

Klaim mengenai raja KAS itu hanya dilakukan sepihak oleh Toto Santoso saja.

Oleh sebab itu, kata Fuji, kita harus melihat terlebih dahulu biografi kriminalitas dari Toto. Apakah Toto pernah melakukan tindak kriminal dan bila ada, apa tindak kriminal tersebut?

2. Nilai "romantisme" majapahit

Mengklaim sebagai penerus Majapahit, Keraton Agung Sejagat merupakan bentuk romantisme kejayaan majapahit.

Romantisme yang dimaksud ialah imajinasi bayangan paling ideal dari masyarakat.

"Di Jawa, ini berkaitan dengan adanya kepercayaan di sebagian masyarakat tentang sabda palon," ujar Fuji.

Dia melanjutkan, sabda palon menceritakan bahwa 500 tahun setelah pudarnya surya Majapahit, ia akan kembali lagi ke tanah Jawa untuk membangkitkan para taksu atau ruh yang tertidur. Sabda palon ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.

"Klaim atas romantisme ini digunakan sebagai basis gerakan Toto yang manipulatif," tuturnya.

Baca juga: Sosiolog: Keraton Agung Sejagat Terbentuk karena Motif Ekonomi

Kenapa ada yang mau jadi anggota Keraton Agung Sejagat?

Adapun hal yang menarik secara sosiologis, menurut Fuji, justru anggota-anggota yang bersedia ikut dalam klaim KAS tersebut.

"Apakah mereka (anggota) ini looking for hope (mencari harapan) yang utopis (penuh khayal) tadi, atau memang murni korban," kata dia.

Apalagi jika benar bahwa pengikut harus membayar sebelum bergabung dengan KAS, maka menurut Fuji, hal itu murni penipuan.

Fuji lantas berpendapat bahwa untuk mencari tahu, maka kita perlu bertanya kepada anggota yang ikut KAS, apakah mereka memang mencari harapan baru atau karena kemampuan literasinya yang kurang.

"Kita tidak boleh loh bilang semua masyarakat punya kemampuan literasi yang sama," tuturnya.

Kemampuan literasi masyarakat yang dimaksudkan adalah cara berpikir dari sisi rasionalitas.

Menurut Fuji, banyak orang yang bisa menggunakan teknologi di era kecanggihan teknologi saat ini, tapi belum bisa membedakan mana yang benar atau salah, seperti informasi itu hoaks ataupun bukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com