Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Desa Ngadas, Kesuksesan Tak Melulu tentang Diri Sendiri

Kompas.com - 13/12/2019, 11:29 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Berbicara tentang kesuksesan, banyak pemuda mungkin akan berpikir soal bagaimana meraih pencapaian untuk diri sendiri. Namun, hal itu tak terlihat pada pemuda di Desa Wisata Adat Ngadas, Jawa Timur.

Hal ini disampaikan pasangan peneliti muda Rara Sekar dan suaminya Ben K. C. Laksana dalam acara bertajuk Indonesia 2045: Meet Young Scientists, di Perpustakaan Nasional RI, Sabtu (7/12/2019).

Pasangan yang fokus pada kajian antropologi sosial dan budaya itu mengatakan, mereka pernah datang ke Desa Ngadas untuk mengamati arti kesuksesan dalam pembangunan dan pendidikan di mata pemudanya.

Baca juga: LIPI Buka Science Expo 2019 untuk Membumikan Sains ke Masyarakat

Tentang Desa Ngadas dan pemudanya

Desa Adat Ngadas terletak di tengah kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS). Desa ini merupakan satu dari 36 desa yang dihuni suku bangsa Tengger.

Rara Sekar yang juga seorang penyanyi itu menjelaskan, anak muda di Desa Ngadas dikenal dengan kepemilikan atas lahan, pertanian kentang yang sukses, tingkat urbanisasi yang rendah, dan juga pendidikan formal yang berhenti di tingkat SMP.

Dari semua yang melekat di masyarakat desa Ngadas, satu yang tak bisa dilepaskan adalah adat istiadat.

Adat sangat penting di Desa Ngadas.

Oleh sebab itulah, adat istiadat dan kearifan lokal yang terus dipelihara otomatis membentuk pandangan anak muda di Desa Ngadas melihat dunia.

Kakak kandung Isyana Sarasvati itu mengatakan, adat istiadat sangat memengaruhi praktik sosial di Desa Ngadas. Ini terlihat dalam pekerjaan, keluarga, dan agama.

Modal sosial atau relasi sosial menjadi makna simbolik tinggi, baik untuk individu maupun komunitas yang terjadin dalam relasi timbal balik untuk mempertahankan kerukunan di sana.

Pemuda Ngadas: Succes as social atau guyub rukun

"Kita harus bertanya lagi kepada kita (masyarakat Indonesia), apakah praktik pembangunan tentang narasi kesuksesan ini justru menjadikan kita lebih individualis?," tanya Rara dalam kesempatan tersebut.

Secara statistik, desa Ngadas memang tergolong sebagai daerah miskin. Namun, kata Rara, pemuda di sana tidak merasa bahwa mereka miskin.

Sebagai contoh, pemuda Ngadas hampir seluruhnya putus sekolah di tingkat SMP. Namun, mereka tidak merasa bahwa dengan putus sekolah artinya mereka tidak sukses dalam belajar.

Sebaliknya, sukses bukanlah persoalan diri sendiri. Namun lebih pada kepentingan bersama.

Rara ingat betul, ketika dia bertanya tentang makna kesuksesan pada anak muda di desa Ngadas, jawaban yang didapat justru membuatnya malu pada diri sendiri. Percakapan ini pun sangat membekas di ingatan Rara.

"Kenapa sih kak sukses itu harus sendiri-sendiri? Ya enggak bisa lah. Sukses itu bersama-sama. Kata mereka saat itu, dan aku malu," ujar Rara mengenang percakapan kala itu.

Dituturkan Rara, sukses bagi anak muda Ngadas bukan soal akumulasi modal ekonomi.

Akan tetapi soal rasa kepemilikan atas ruang, kebersamaan, dan berelasi secara timbal-balik dengan menjadi relasi sosial yang bermakna. Masyarakat setempat menyebutnya guyub rukun.

Tentang apa yang dipraktikkan oleh masyarakat di desa Ngadas, ini tertuang dalam Bourdieu's Theory of Practice.

Teori itu mengatakan, segala pilihan dan keputusan yang dibuat bukanlah hasil ruang kosong ataupun individu, melainkan berdasarkan lingkungan sebagai bentuk sosial.

Dilanjutkan oleh Ben, bahwa dari hasil penelitian tersebut, ternyata pandangan akan kesuksesan yang telah terbentuk juga menghasilkan pemahaman akan cara hidup yang serupa.

Untuk itulah, kata Ben, sebaiknya kita tidak mengkotak-kotakan ataupun menggambarkan narasi kesuksesan seseorang ataupun sekelompok hanya karena data statistik. Misalnya seperti desa Ngadas yang digolongkan sebagai daerah miskin.

Melainkan, hal yang perlu disadari adalah bahwa tidak semua kelompok seperti masyarakat Ngadas menganggap mereka tidak sukses hanya karena pendidikan berhenti di SMP, tingkat urbanisasi yang rendah, ataupun tingkatan akumulasi ekonomi yang lebih rendah daripada daerah lainnya.

Baca juga: Pemberian Hak Konsesi Masyarakat Adat dari Jokowi Faktanya Berbeda

"Makanya pengambil kebijakan itu seharusnya tidak bertindak atas dasar data statistik saja, melainkan juga pertimbangkan landasan adat dan budaya yang dipahami oleh daerah tersebut," kata Ben.

Ben berpendapat, kesuksesan negara tidak diukur dengan pembangunan gedung, urbanisasi, dan kapitalisasi yang merata.

Lebih dari pada itu, terpenting adalah kesejahteraan dalam menjalankan kompleksitas relasi masyarakat yang beragam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com