Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

2 Ahli Bicara Mitigasi Tsunami Lewat Kearifan Lokal Indonesia

Kompas.com - 05/11/2019, 17:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Setiap tanggal 5 November diperingati sebagai Hari Kesadaran Tsunami Sedunia.

Dalam 100 tahun terakhir, ada 58 tsunami yang menewaskan sedikitnya 260 ribu orang.

Jika kita ingat tsunami Aceh Desember 2004, itu adalah kejadian tsunami paling mematikan dalam sejarah.

227.000 orang dari 14 negara tewas dalam kejadian tersebut. Kawasan yang paling parah terkena dampaknya adalah Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand.

Beberapa ahli Indonesia pun sudah melirik kearifan lokal dan catatan sejarah sebagai salah satu cara untuk mitigasi tsunami.

Berikut adalah tiga ahli Indonesia beserta kajiannya tentang tsunami di masa lalu.

Baca juga: Hari Kesadaran Tsunami Sedunia, Asalnya dari Kearifan Lokal Jepang

1. Widjo Kongko

Dalam acara bertajuk Mitigasi di Tengah Ancaman Gempa Megathrust di Yogyakarta, Sabtu (19/10/2019), Widjo Kongko, ahli tsunami sekaligus Perekayasa Bidang Kelautan Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai (BTIPDP) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan bahwa tsunami merupakan bencana dengan pola berulang.

Ratusan atau ribuan tahun lalu Indonesia pernah diterpa tsunami, beberapa tahun ini terjadi, dan di masa depan juga akan terjadi hal sama.

"Leluhur kita sebenarnya sudah merekam ini (tsunami). Tapi karena pengetahuan mereka terbatas, mereka menggunaka metafora atau tafsir berupa lagu, syair, puisi, hikayat, dan sebagainya," ujar Widko.

Widjo mengatakan, berbagai kearifan lokal yang ada di masyarakat seperti mitos, cerita rakyat, lagu, syair, dan hikayat di masa lalu sebenarnya mengisahkan situasi yang terjadi di masa lalu, salah satunya tsunami.

Selain menjadikan suatu fenomena menjadi sebuah karya sastra di masa lalu, para leluhur juga menggunakan kejadian tersebut untuk menamai suatu wilayah.

Widjo berkata, di Palu ada banyak nama daerah yang berhubungan dengan gempa bumi dan tsunami.

Sebagai contoh, suku bangsa Kaili yang mendiami sebagian besar Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu, disebut Widjo, tidak pernah mau hidup di pesisir. Mereka lebih memilih hidup di atas bukit.

"Karena nenek moyang mereka (suku bangsa Kaili) sejak dulu tahu, daerah situ rawan gempa bumi, tsunami, dan nalodo (bahasa lokal) yang artinya likuefaksi," ujarnya.

Setelah gempa Palu September 2018 lalu, kota Palu mengalami fenomena likuefaksi. Likuefaksi adalah ketika tanah yang bergetar akibat gempa kehilangan kekuatan dan menyebabkan amblas.

"Ada cerita menarik, tahun 80-an ada kampung yang di sekitarnya rawa. Tetapi rawa itu sebetulnya bentuk lain dari nalodo atau likuefaksi. Kemudian setelah tahun 80-an, rawa itu diurug dan dijadikan perumahan," papar Widjo.

"Kemarin saat likeufaksi (Palu), tanah yang dulunya ada (80-an) ya tetap di situ enggak ada masalah. Tapi yang dulunya rawa, tenggelam," katanya.

Kondisi Kelurahan Petobo pasca likuefaksi akibat gempa 7,4 Magnitudo. Semua rumah tenggelam dalam lumpurKOMPAS.COM/ROSYID AZHAR Kondisi Kelurahan Petobo pasca likuefaksi akibat gempa 7,4 Magnitudo. Semua rumah tenggelam dalam lumpur

Widjo mengatakan, ini merupakan bukti nyata bahwa suatu fenomena atau bencana alam akan terus berulang, terutama gempa dan tsunami.

Oleh sebab itu, kearifan lokal di suatu wilayah diharapkan Widjo dapat dilestarikan dan masuk dalam kurikulum pendidikan.

2. Eko Yulianto

Eko Yulianto, pelacak jejak tsunami purba dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah melakukan ekspedisi dari Lebak, Jawa Barat, hingga Bali.

Dia menemukan, lapisan-lapisan sedimen yang dibawa tsunami pada masa lalu. Menurut pengukuran Eko, sekitar 400 tahun yang lalu ada tsunami besar di selatan Jawa.

Fenomena ini menurut Eko terekam dalam mitos Nyi Roro Kidul.

Diwawancarai Kompas.com via telepon, Sabtu (20/9/2019), Eko menuturkan bahwa pencarian jejak tsunami raksasa purba dimulainya ketika melakukan penelitian di lapangan dua hari setelah tsunami Pangandaran pada 2006.

Pada saat itu, dia menemukan bukti pertama yang diduga endapan tsunami purba. Namun, dia tidak dapat mengambil sampel dan meneliti lebih lanjut.

Baru satu tahun kemudian, ketika Eko menemani profesornya yang berasal dari Jepang, sampel berhasil dibawa untuk diuji di Japan Nuclear Center.

Hasil pengujian yang keluar pada 2 Desember 2017 menunjukkan bahwa tsunami terjadi sekitar 400 tahun yang lalu plus minus 30 tahun.

"Dari situ saya berpikir, seandainya benar 400 tahun itu tadi, maka saat itu di Jawa sedang ada apa. 400 tahun lalu secara kasar tahun 1600. Karena sejak kecil saya juga suka sejarah, saya masih ingat pelajaran-pelajaran dulu secara umum. Tahun 1600-an itu adalah kurang lebih awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam," ujar Eko.

"Lalu karena saya juga orang jawa, yang dibesarkan di Jawa dan masih mengalami masa ketika menonton sandiwara tradisional Jawa, ketoprak, dan sebagainya, yang saya ingat juga adalah hubungan antara raja-raja Mataram Islam dengan Ratu Pantai Selatan (Nyi Roro Kidul) sebagai sebuah mitos," lanjutnya lagi.

Dua versi

Berdirinya Kerjaan Mataram Islam dituturkan dalam dua versi.

Versi pertama yakni dalam buku sejarah menceritakan bahwa ketika Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang ingin menyerbu Sultan Panembahan, dia terhalang oleh aliran lahar dari Gunung Merapi dan terpaksa kembali. Dalam perjalanan, dia terjatuh dari gajah tunggangannya dan meninggal.

Namun dalam versi Babad Tanah Jawi, kisah itu menjadi lebih dramatis.

Panembahan Senopati atau Sutawijaya dan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, sudah mengetahui terlebih dahulu bahwa Sultan Hadiwijaya akan menyerbu sehingga mereka pun berbagi tugas untuk menangkalnya.

Ki Ageng Pemanahan berangkat ke utara untuk meminta bantuan dari Penguasa Merapi, sedangkan Panembahan Senopati berangkat ke selatan untuk meminta bantuan dari Penguasa Laut Selatan.

Ketika menuju ke Selatan, Panembahan Senopati masuk ke Kali Ompak dan berenang. Namun, kemudian seekor naga atau ikan raksasa memberikan bantuan dan mengantarkannya ke muara sungai.

Setelah naik ke daratan, dia pun bersemedi. Semedinya mengeluarkan hawa panas yang menyebabkan gelombang besar.
Gelombang ini mematikan segala makhluk, merobohkan tumbuh-tumbuhan yang ada di daratan dan mengganggu makhluk-makhluk pengikut Nyi Roro Kidul.

Saat itulah, Nyi Roro Kidul menemui Panembahan Senopati dan memintanya untuk berhenti bersemedi karena menganggu rakyatnya.

Mereka pun mencapai kesepatakan, dan Nyi Roro Kidul berjanji akan membantu Panembahan Senopati untuk mendirikan kerajaan Mataram Islam.

Mencari bukti-bukti tsunami

Eko mengatakan, jika mitos Nyi Roro Kidul memang berkaitan sama fenomena alam, maka fenomena alam itu harusnya terekam dalam sebuah dokumen yang lebih valid secara ilmiah.

Secara kebetulan, Eko mendapatkan salinan dari disertassi Alfred Wichmann, seorang ahli geologi Hindia-Belanda.

Dalam disertasinya, Wichmann mencatat kejadian-kejadian tsunami, gempa bumi dan letusan gunung api di Indonesia dari tahun 300 hingga 1850 berdasarkan macam-macam sumber, mulai dari mitos, cerita rakyat hingga catatan orang Eropa yang sedang berada di Indonesia.

Disertasi Wichmann menyebutkan bahwa pada 1584-1586, ada dua gempa besar yang mengguncang seluruh selatan jawa.

Lalu, pada kisaran waktu yang sama, ada tiga gunung yang meletus yakni Gunung Ringgit, Gunung Kelut dan Gunung Merbabu.

"Dikatakan gempa itu mengguncang seluruh selatan Jawa. Kalau deskripsinya benar, gempa itu kemungkinan besar terjadi di jalur subduksi selatan Jawa (di lautan) dan bukan daratan Pulau Jawa. Karena kalau dari sesar di daratan, gempa itu hanya akan dirasakan oleh wilayah yang tebatas sekali," tutur Eko.

Di samping disertasi Wichmann, Eko dan timnya juga melakukan penelitian lanjutan sejak 2006 untuk mencari bukti adanya tsunami raksasa yang dipicu oleh gempa sekitar 400 tahun yang lalu.

Bila memang benar terjadi, seharusnya bukti dapat ditemukan pada hampir semua tempat di pantai selatan Jawa. Penelitian Eko membuahkan hasil. Bukti ditemukan di Lebak, Ciledug, Pangandaran dan sekitarnya, Cilacap, Kutoarjo, Lumajang bahkan selatan Bali.

"Kami menyimpulkannya, tsunami besar itu memang pernah terjadi 400 tahun lalu," ujar Eko.

Sumber: Kompas.com (Shierine Wangsa Wibawa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com