Terbatasnya biaya, waktu, kendala akses terhadap pelayanan kesehatan, kondisi mental dari pasien yang belum siap untuk berobat, dan juga ketidaktahuan pasien tentang adanya tenaga kesehatan profesional yang bisa mengobati bisa mendorong orang untuk melakukan self-diagnosis.
Selain itu, munculnya persepsi bahwa gangguan mental itu “keren” dan adanya informasi di internet, memperparah tren self-diagnosis ini.
Saya menyayangkan beberapa orang yang beranggapan gangguan mental itu “keren” dan mendorong mereka melakukan self diagnosis
Gangguan mental itu tidak menyenangkan dan sangat menghambat potensi. Kita ambil saja contoh karakter Joker di film. Sepanjang film, ia mungkin ada kalanya terlihat perkasa dan hebat, tetapi ia tidak senang. Ia tidak bahagia. Ia tidak tenang. Ia tidak ingin berada dalam kondisi itu. Bagaimana “keren” kalau orang yang memilikinya saja tidak menginginkannya?
Edo S. Jaya
Lecture at Faculty of Psychology, Universitas Indonesia
Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambilkan dari artikel berjudul "Banyak anak muda klaim mengidap gangguan mental setelah nonton Joker: bahaya self diagnosis”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.