KOMPAS.com - Kanker dicap sebagai penyakit paling berbahaya dan mengancam jiwa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Data Global Burden Cancer (globocan) tahun 2018 menyebut ada 348.809 penderita kanker di Indonesia. Dari kasus yang ada tersebut, 207.210 pasien kanker meninggal dunia.
Perlu diketahui, angka ini menunjukkan prevalensi kasus sebesar 776.120 dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, Prof DR Dr Aru W Sudoyo SpPD KHOM FINASIM FACP mengatakan, tingginya prevalensi penyakit kanker di Indonesia itu terkait dengan empat tantangan.
Baca juga: Yayasan Kanker Indonesia: Masyarakat Jangan Khawatir Ranitidin Ditarik
Luasnya negeri Indonesia
"Kita, Indonesia ini wilayahnya terlalu luas. Susah menjangkau keseluruhan daerah. Luas Indonesia bahkan sampai 1,9 juta kilometer persegi. Indonesia ini masalah besarnya kebanyakan air, jadi sulit mengelola negeri ini," kata Aru di di acara Patient Journey in Oncology Total Solution yang diadakan oleh PT Kalbe Farma Tbk di Bogor, Selasa (7/10/2019).
Oleh sebab itulah, pemerataan atas kebijakan kesehatan seringkali mengalami kendala teknis yang terjadi di lapangan atau alam kehidupan di masyarakat yang ada.
Dari data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013-2018, prevalensi kanker berdasarkan diagnosis kanker menurut provinsi (permil) rata-rata 1,8 persen.
Data itu mengungkap, daerah yang tinggi prevalensi kankernya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan angka 4,9 persen.
Sementara untuk prevalensi kanker terendah adalah Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan angka 0,9 persen.
Kurangnya ahli onkologi
Diakui Aru, ahli onkologi atau pakar penyakit kanker di Indonesia jumlahnya masih sangat sedikit dan tak sebanding dengan tingginya prevalensi kanker yang terjadi.
Prevalensi jenis kanker yang diderita data Globocan pada 2012 menunjukkan rincian sebagai berikut dengan perbandingan persentase kasus per 100.000.
Kurangnya fasilitas kesehatan
Kurangnya fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan untuk penyakit kanker, menurut Aru, tidak lepas kaitannya dengan persoalan minimnya jumlah ahli onkologi di Indonesia.