KOMPAS.com - Fanli Lahingide (14), siswa SMP Kristen 46, Mapanget Barat, Manado dikabarkan meninggal dunia setelah dihukum lari keliling sekolah karena terlambat datang ke sekolah.
Saat Fanli menyelesaikan dua putaran, dia tiba-tiba terjatuh ke arah depan dan pingsan tak sadarkan diri.
Menurut keterangan polisi, korban dibawa ke Rumah Sakit AURI pada 8.30 WITA dan kemudian diarahkan dirujuk ke RS Prof Kandou.
"Korban meninggal pada pukul 8.40 WITA pada saat dirujuk ke RS Prof Kandou," kata Kapolsek Mapanget AKP Muhlis Suhani dikonfirmasi Selasa malam (1/10/2019).
Dari keterangan yang diperoleh polisi, korban sempat mengaku kelelahan dan meminta izin beristirahat kepada guru berinisial CS yang menghukumnya. Namun, diduga CS tidak meluluskan permintaan korban.
Hingga Rabu pagi (2/10/2019), pihak keluarga dan Polsek Mapanget masih menunggu hasil autopsi yang dilakukan RS Bhayangkara Manado guna memastikan penyebab kematian Fanli.
Namun, bagaimana lari bisa berakibat fatal hingga menyebabkan kematian?
Baca juga: Belasan Warga Cianjur Keracunan Gas Klorin, Ini Kata Ahli
Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi dokter spesialis olahraga dr Michael Triangto, SpKO.
Michael mengatakan, ada beberapa hal yang bisa membuat seseorang meninggal setelah melakukan olahraga fisik, meski waktunya singkat.
Michael mengajak Kompas.com untuk membayangkan bagaimana jika seseorang dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan, yang seharusnya 8 jam per hari menjadi hampir 24 jam.
"Coba bayangkan kalau harusnya kamu kerja 8 jam, diminta kerja 24 jam. Bisa sakit tidak? Kalau sakit kelamaan bisa meninggal enggak?" kata Michael kepada Kompas.com Rabu (2/10/2019).
Bekerja yang terlalu diforsir akan menyebabkan lelah, hingga akhirnya sakit. Jika hal ini terus menerus terjadi, ada kemungkinan menyebabkan seseorang meninggal.
"Bisa jadi (siswa SMP meninggal) karena kelelahan," ujarnya.
Kondisi ini pun tidak bisa disamakan dengan kasus atlet marathon yang meninggal di arena lari. Ini merupakan dua hal berbeda.
Semua atlet harus menjalani pre preparation test untuk menilai kesehatan fisik dan mental atlet sebelum menjalani latihan atau kompetisi olahraga. Hal ini untuk mencegah kemungkinan buruk yang terjadi.
Sementara dalam kasus Fanli, tentu guru atau pihak sekolah tidak melakukan tes terlebih dahulu.
"Karena gurunya beranggapan bahwa lari sesuatu yang biasa, semua anak juga melakukannya," kata Michael.
Oleh sebab itu, perlu diketahui seberapa lama anak tersebut berlari.
"Kalau memang larinya lima menit kemudian dia meninggal, kemungkinan anak tersebut sudah memiliki gangguan kesehatan di dalam tubuhnya," ujar Michael.
"Tapi kalau guru minta lari setengah jam, terus menerus tanpa henti karena dapat hukuman, itu bisa saja berlebihan. Jadi bisa disebut kelelahan," imbuh Michael.
Dalam laporan yang didapat polisi diketahui korban sempat meminta istirahat karena merasa lelah. Hal itu diungkap setelah dia berlari dua kali putaran.
Menurut Michael, jika seseorang mengaku kelelahan setelah berlari selama lima menit padahal larinya dalam tempo pelan, maka perlu dicari tahu apakah kesehatan anak tersebut normal atau tidak.
"Kalau anak itu normal, harusnya enggak apa-apa (lari lima menit). Tapi kalau anak itu ada gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan sebelumnya, bisa saja sesuatu yang ringan menjadi berat," jelas dia.
Untuk mengetahui penyebab kematian pada Fanli, Michael mengatakan perlu ada pemeriksaan terperinci dan mendalam juga melihat riwayat kesehatan sebelumnya.
Seseorang yang meninggal di tempat saat berlari, kemungkinan disebabkan oleh jantung atau stroke karena kelainan pembuluh darah.
"Tapi kalau meninggal setelah itu (lari), kemungkinan ada gangguan kesehatan lain. Misalnya gangguan gagal ginjal karena dehidrasi, pembengkakan pada saluran napas sehingga gagal napas, atau masalah saluran pernapasan seperti asma," ungkapnya.
Baca juga: Sudah Rajin Lari Tiap Hari, Kok Berat Badan Tidak Turun?
Kasus ini tentu saja patut menjadi perhatian bersama, agar hal serupa tidak terjadi pada anak-anak lain.
Oleh sebab itu, Michael mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Mulai dari mengetahui tingkat kesehatan siswa, kebiasaan siswa bagaimana ketika berlari, hingga mengganti bentuk hukuman.
"Berikan bentuk hukuman yang lebih mendidik, misalnya menyapu halaman sekolah atau membersihkan WC. Itu jauh lebih baik dari siksaan fisik, karena kita enggak tahu sampai seberapa (suatu hukuman berpengaruh pada fisik siswa)," ujar Michael.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.