Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rangkong Gading, Maskot dari Kalimantan Barat dan 7 Fakta Unik Lainnya

Kompas.com - 29/08/2019, 10:51 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Maskot Kalimantan Barat, Rangkong Gading (Rhinoplax vigil) berstatus critical endangered (sangat terancam punah atau kritis) oleh International Union for Conservation Nation (IUCN).

Selain dijadikan maskot Kalimantan Barat, ternyata ada beberapa fakta menarik lainnya dari hewan satu ini.

Tak boleh sebut Rangkong Di Kalimantan 

Rangkong Gading memiliki banyak sebutan di berbagai daerah, seperti enggang, kangkareng, tajam, Julang, tajay, kecakoh, burung taon, tusan, batu ulu, dan nggoanggali.

Selain itu, ada sekitar 13 jenis rangkong yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk rangkong gading, hanya bisa ditemukan di daerah Kalimantan Barat.

Baca juga: Rangkong Gading dan Arwana Super Red Terancam Punah di Kalimantan Barat

Namun menurut Rangkong Indonesia Conservation Society, Yokyok Hadiprakarsa, jika Anda berada di Kalimantan, maka jangan sebut nama rangkong, ganti dengan enggang.

Ini karena istilah "rangkong" di Kalimantan memiliki makna berbeda dan agak vulgar.

Bertubuh besar

Hewan dengan family Bucerotidae ini, umumnya memiliki tubuh dengan panjang 190 sentimeter atau hampir sama ukuran panjang manusia dewasa.

Meski dikatakan Yokyok ada juga rangkong gading bertubuh kecil, dengan panjang 50 sentimeter.

Yokyok berkata, 13 persen berat tubuhnya ada di bagian kepala.

Rangkong gading memiliki balung atau tanduk berwarna merah, berparuh besar berwarna putih gading, bercorak warna bulu hitam atau putih, dan ekor cukup panjang dengan corak warna dominan putih meski ada hitamnya.

Pemakan buah

Rangkong gading adalah burung pemakan buah, bukan biji ataupun daging. Namun sesekali mereka memakan serangga kecil ataupun ulat.

Burung primitif

Burung yang satu ini bersarang di lubang pohon, dengan ketinggian lebih dari 5 meter. Selain itu, lubang yang ditinggalinya merupakan lubang alami, bukan lubang buatan mereka.

Bersarang di pohon merupakan salah satu ciri burung yang primitif dan hanya hinggap di bagian atas tajuk pohon.

"Untuk itulah sulit sekali kalau mau menjumpai burung ini, ya karena tempatnya dia (rangkong gading) di atas pohon-pohon tinggi," kata Yokyok.

Oleh karena itu, untuk mencirikan ada dan tidaknya burung yang satu ini, para penjelajah dan peneliti perlu mendengarkan suaranya dahulu. Sebab, rangkong gading memiliki suara khas yang menggelegar.

Berkembang biak lambat

Karena beberapa hal seperti kebutuhan sarangnya berada di atas pohon yang tinggi dan berlubang alami, ternyata dalam satu siklus reproduksi, rangkong hanya bisa bertelur sebanyak 3 butir.

Ancaman kepunahan terhadap rangkong gading disebut sama beratnya seperti ancaman terhadap gajah.Science Photo Library via BBC Ancaman kepunahan terhadap rangkong gading disebut sama beratnya seperti ancaman terhadap gajah.

Petani alami

Rangkong gading dinyatakan sebagai petani alami, karena ia akan memakan dan menebarkan biji-bijian untuk disebarkan di wilayah lainnya, sehingga bijian tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi pepohonan di hutan.

"Ya, rangkong ini burung penyerbuk yang menanam (menyebarkan) tanaman ke daerah lainnya, kalau bisa dibilang itu petani alami di alam. Bayangkan kalau burung ini punah, apa yang akan terjadi dengan ekosistem alam kita," tutur Yokyok.

Untuk itulah, rangkong ini dianggap berperan penting dalam keberlangsungan ekosistem alam.

Baca juga: Mengenal Rangkong Gading, Sang Petani Hutan Sejati

Simbol nilai budaya

Enggang atau rangkong gading memiliki banyak makna dan nilai budaya di masyarakat daerah Kalimantan Barat.

Dikatakan Yokyok, dahulu enggang merupakan simbol dari ketangguhan seorang pria dengan seberapa banyak pria tersebut telah memenggal kepala.

"Hanya pendekar Dayak yang bisa menggunakannya, tetapi mencari burung rangkong yang sudah mati, tidak boleh dengan memburu," imbuhnya.

Namun saat ini sudah banyak yang melakukan penjualan aksesoris dari rangkong gading secara ilegal, target pasarnya adalah Tiongkok, China.

Yokyok menambahkan, hal ini terjadi karena permintaan pasar, diiringi kemiskinan dan kurangnya ketegasan hukum, meskipun pada dasarnya Indonesia merupakan habitat populasi terbesar 99% berada di dan dari wilayah Indonesia.

Serta, dia juga menyatakan nilai budaya yang ada sudah luntur. Banyak masyarakat yang tidak bertanggungjawab memburu hewan tersebut, kemudian menjual bagian kepala dan bulunya menjadi berbagai aksesoris seperti, cincin, gelang, ukiran, helai ekor burung dan lainnya.

Baca juga: Mengenal Arwana Super Red, Ikan Kalimantan Barat yang Terancam Punah

Tidaa hanya itu, masyarakat bukan hanya tidak mengetahui nama rangkong gading ini dan historis dibaliknya, yang mereka tahu ini enggang cula dan merupakan burung yang ada di hutan Kalimantan.

"Harusnya bisa menjadi kebanggaan karena melestarikan budaya sendiri, tapi saat ini sudah banyak dikomersilkan. Inilah yang menjadikan hanya sekedar simbol bukan adat lagi," tukas Yokyok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau