KOMPAS.com – Pada tahun 2019 ini, Indonesia diperkirakan akan mengalami musim kemarau yang cukup panjang, melebihi periode musim kemarau pada tahun lalu.
Dugaan tersebut berdasarkan analisis BMKG, yang menyimpulkan bahwa musim hujan baru akan dimulai saat memasuki bulan Oktober.
Periode musim kemarau panjang ini tentunya dibarengi dengan curah hujan yang menurun serta suhu cuaca yang cukup tinggi, dua kondisi yang dapat memicu kondisi kekeringan di berbagai lokasi.
Pada lokasi tertentu, kondisi kekeringan berkepanjangan ini dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, seperti yang terjadi di kawasan sabana Gunung Rinjani pada hari Minggu (23/6/2019) silam.
Lantas, dengan adanya musim kemarau panjang ini apakah kita perlu waspada akan kebakaran hutan dan lahan?
Baca juga: Masuk Musim Kemarau, Sebagian Wilayah Berpotensi Alami Kekeringan
“Secara sejarah, tahun 2015 kemarin terjadi kemarau panjang dan perubahan arah angin yang meningkatkan frekuensi kebakaran hutan,” ujar Dean Yulindra Affandi, Koordinator Sains dan Penelitain WRI Indonesia, saat ditemui di Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada tahun 2015 silam terjadi di beberapa titik api yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Kebakaran ini membumihanguskan area seluas dua juta hektar dan mengakibatkan kerugian sebesar 20 triliun rupiah.
Menurut Dean, wilayah yang saat ini paling rentan terhadap kebakaran lahan dan hutan adalah kawasan hutan gambut, terutama di daerah Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan, yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan lain.
Sebagian besar ekosistem pada daerah tersebut merupakan lahan gambut, yang sangat rentan terhadap kebakaran.
“Celakanya, jika terjadi kebakaran di areal tersebut, karena adanya gas karbon monoksida yang terkandung di dalam hutan gambut maka akan sulit untuk memadamkannya,” jelas Dean.
Baca juga: Sudah Masuk Musim Kemarau, Kok Sebagian Wilayah Masih Hujan?
Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran tersebut, pemerintah daerah dan pusat telah mengantisipasi lewat beberapa regulasi untuk mencegah kejadian tahun 2015 terulang kembali.
Namun, Dean juga menekankan bahwa sikap ini tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah saja, tanpa adanya kesadaran dari masyarakat sekitar yang berinteraksi langsung dengan lahan dan hutan tersebut.
“Sebenarnya yang harus lebih digalakan adalah sosialisasi dan penyadaran internal pada masyarakat sekitar. Jadi bukan hanya regulasi saja, tapi diikuti dengan law enforcement dan pemahaman pada penduduk lokal,” lanjutnya.
Pembakaran lahan memang tidak dapat dilenyapkan sama sekali, khusunya bagi penduduk yang bermata pencaharian sebagai penggarap ladang berpindah. Namun, yang perlu dicegah adalah penyebaran kebakaran tersebut ke areal yang rentan, seperti lahan gambut dan titik api lainnya.
“Saya yakin bahwa masyarakat kita sadar dengan konsekuensi dan risiko atas pembakaran lahan karena mereka sudah tinggal puluhan tahun di lokasi tersebut. Mereka pasti punya local wisdom, dan sekarang, waktunya kembali ke fitrahnya,” pungkas Dean.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.