KOMPAS.com - Baru-baru ini perusahaan taksi Blue Bird membeli 30 unit kendaraan listrik yang diujicobakan sebagai taksi mereka. Kedatangan taksi listrik di Indonesia itu menunjukkan di depan mata bahwa kendaraan dengan bahan bakar listrik yang digadang akan lebih “hijau” adalah keniscayaan. Indonesia mau tak mau akan mengikuti tren peralihan dari mobilitas yang berbasis bahan bakar bensin menjadi berbasis listrik.
Namun dalam ramai pembicaraan soal taksi listrik Blue Bird - dan juga heboh mobil listrik sejak digagas pengembangannya oleh kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi beberapa tahun lalu - ada yang relatif tidak jadi sorotan, yaitu baterai. Sesekali diskusi tentangnya terjadi tetapi dengan cepat lenyap.
Padahal, menurut kajian PwC yang dipublikasikan sekira tahun 2016, teknologi penyimpanan energi (energy storage) - di mana baterai adalah salah satunya - adalah salah satu teknologi disruptif dalam bidang ketenagalistrikan selain kendaraan listriknya sendiri.
Tantangan Fabrikasi Baterai Lithium
Berdasarkan jenisnya, teknologi penyimpanan energi dibagi menjadi teknologi penyimpanan energi secara listrik (electrical storage), penyimpanan secara elektrokimia (electrochemical storage), penyimpanan secara mekanik (mechanical storage) dan penyimpanan secara termal (thermal storage).
Kebanyakan masyarakat awam hanya mengenal baterai dan kapasitor sebagai piranti penyimpanan energi. Padahal sebenarnya masih banyak lagi yang lainnya, seperti roda gila (flywheel), hydro pumped storage, compressed air energy storage dan sebagainya. Yang membedakan jenis jenis penyimpanan energi tersebut adalah kerapatan energi dan daya yang dihasilkan serta aplikasi atau penggunaannya.
Baterai lithium ion tersusun atas lembaran anoda (kutub negatif), lembaran katoda (kutub positif), elektrolit dan separator. Keempat komponen material tersebut kemudian digulung sehingga membentuk silinder, prismatik atau pouch dan dibungkus oleh casing yang terbuat dari metal atau plastik. Sederhana dan mudah dibuat bahkan untuk ukuran industri kecil sekalipun.
Baca juga: Deteksi dalam Sedetik, Sensor Hidrogen Ilmuwan Indonesia Tercepat di Dunia
Tantangan dalam penelitian baterai lithium-ion adalah bagaimana membuat baterai yang memiliki kerapatan energi (Wh/kg) dan daya (W/kg) yang tinggi, aman, ramah terhadap lingkungan, memiliki waktu hidup yang lama dan tentu saja murah. Semakin tinggi nilai kerapatan energi sebuah baterai, berarti semakin ringan baterai tersebut. Demikian pula semakin besar nilai kerapatan daya, berarti baterai tersebut dapat memenuhi kebutuhan beban yang memiliki fluktuasi daya yang besar, seperti halnya sebuah mobil listrik.
Faktor pertama inilah yang membuatnya sulit. Kerapatan energi dan daya sangat ditentukan oleh jenis material yang digunakan dan proses rekayasa material pada saat fabrikasi lembaran anoda dan katoda. Proses ini ibarat membuat ramuan untuk memasak. Untuk menjadi masakan yang enak, diperlukan komposisi material yang pas dan dimasak oleh koki yang berpengalaman. Di situlah biasanya proses proteksi kekayaan intelektual (paten) banyak dibuat.
Saya pernah berkunjung ke salah satu start-up company di Tiongkok yang sedang naik daun dan didirikan pada tahun 2006. Perusahaan ini mengembangkan baterai lithium berbasis LTO dan memiliki lebih dari 400 paten. Mereka mengklaim baterainya dapat dilakukan secara fast charging, hanya dalam waktu 15 menit saja, untuk mengisi baterai LTO berkapasitas 80 – 100 kWh.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.