KOMPAS.com – Seperti yang kita ketahui, saat ini emisi karbon yang diakibatkan oleh aktivitas harian manusia, entah itu dari pembakaran bahan bakar fosil, limbah industri, hingga emisi rumah tangga, mengalami peningkatan signifikan yang dapat mengancam kondisi Bumi.
Tingginya emisi karbon ini juga ditenggarai menjadi penyebab utama perubahan iklim dan peningkatan suhu global.
Namun, bagaimana dampaknya terhadap tumbuhan yang dapat menyerap karbon dioksida?
"Kita tahu bahwa tumbuhan darat saat ini menyerap CO2 lebih banyak dari yang dilepas ke atmosfer melalui kombinasi pembakaran, dekomposisi, respirasi, dan emisi dari aktivitas manusia," ujar Lucas Cernusak, pakar ekologi terestrial dari James Cook University, dilansir dari Science Daily, Kamis (16/5/2019).
"Fenomena ini biasa dikenal sebagai simpanan karbon daratan (land carbon sink), dan kita mengetahui bahwa inilah yang saat ini memperlambat laju pelepasan CO2 yang semakin meningkat. Kita tidak tahu seberapa kuat respons ini, dan sampai kapan kita dapat mengandalkannya," terangnya.
Baca juga: Bukti Indonesia Kaya, Kebun Raya Bogor Pamerkan 43 Jenis Tumbuhan Baru
Untuk dapat memahami bagaimana tumbuhan merespons emisi karbon yang semakin tinggi, serta seberapa besar dampaknya, Cernusak bersama koleganya dari CSIRO Oceans and Atmosphere dan University of Lorraine melakukan penelitian untuk mengukur kekuatan biosfer terestrial dalam mengatasi peningkatan kadar CO2.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Trends in Plant Science ini berfokus pada proses fotosintesis, di mana tumbuhan menangkap energi dari cahaya matahari dan menggunakannya untuk sintesis karbohidrat dari CO2 dan air.
Selain itu, studi ini juga menelaah proses fotosintesis secara global melalui pengukuran terrestrial gross primary productivity (GPP), yaitu jumlah energi kimia dalam bentuk biomassa tumbuhan.
Hasil pemodelan dan analisis mengungkap bahwa, sejak awal dimulainya era industri, fotosintesis telah mengalami peningkatan secara konstan dan proporsional terhadap meningkatnya kadar CO2 di atmosfer.
"Kita sudah memprediksi adanya korelasi, karena CO2 menstimulasi fotosintesis. Namun jika meninjau dari kompleksitas tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, kami sangat terkesan akan betapa cepatnya mereka mampu beradaptasi dengan laju kenaikan emisi ini. Kita dapat menyimpulkan bahwa tumbuhan bekerja dengan sangat keras" jelas Cernusak.
Para peneliti menggunakan kombinasi dari beberapa analisis yang sudah ada sebelumnya dengan pemodelan baru, bersama dengan studi laboratorium, untuk menelaah bagaimana peningkatan CO2 mempengaruhi fotosintesis, dari tingkat individual hingga global.
"Ini merupakan langkah awal dari tugas yang panjang dan kompleks untuk mengukur bagaimana vegetasi terestrial akan menanggapi perubahan iklim dalam jangka waktu yang amat panjang ke depannya," paparnya.
Baca juga: Kadar CO2 Sentuh Level Tertinggi dalam Sejarah, Ini Artinya Bagi Kita
Meski tingginya kadar CO2 di atmosfer memungkinkan peningkatan laju fotosintesis secara global, namun para peneliti memperingatkan bahwa perubahan iklim lebih lanjut, dengan meningkatnya frekuensi gelombang panas, kekeringan, dan badai, dapat mengakibatkan tumbuhan menjadi stress dan mengurangi produktivitasnya.
"Perlu diingat pula bahwa perubahan secara global akan termanifestasikan secara beragam pada kawasan yang berbeda. Pada ekosistem subtropis, kenaikan suhu menjadi pendorong tingginya laju fotosintesis dan penambahan durasi musim tanam," jelas Cernusak.
"Hal ini berbeda dengan di kawasan tropis, di mana meski tingginya CO2 membantu fotosintesis, namun kenaikan suhu justru malah menimbulkan stress pada beberapa tumbuhan," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.