KOMPAS.com – Bagi masyarakat urban, listrik merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari penerangan, komputer kantor, hingga layar gadget menkonsumsi pasokan listrik harian dalam skala masif tiap harinya.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa dibalik itu semua, terdapat kalangan masyarakat yang menanggung derita akibatnya.
Melalui film dokumenter “Sexy Killers”, rumah produksi WatchDoc mengungkap cerita para korban pembangunan PLTU yang selama ini jauh dari pemberitaan arus utama.
Film berdurasi 88 menit ini bercerita secara runut mengenai perjalanan batu bara dari hulu ke hilir serta dampak yang ditimbulkannya selama perjalanan terhadap penduduk setempat.
Mulai dari lokasi penambangan batu bara di kawasan Kutai, Kalimantan Timur, dimana para petani transmigran yang telah menempati lokasi sejak era Orde Baru kini harus pasrah menanggung kerusakan lahan yang ditenggarai disebabkan oleh aktivitas tambang.
Selain polusi udara, krisis air bersih, dan kerusakan bangunan, aktivitas tambang yang bersebelahan dengan pemukiman warga juga meninggalkan lubang galian yang menelan korban jiwa.
Dalam kurun waktu 2011-2018, tercatat sebanyak 32 korban tenggelam dalam lubang galian tambang. Sedikitnya terdapat sekitar 3500 lubang galian di Kalimantan Timur.
Baca juga: Pembangunan PLTU Celukan Bawang II Ditentang, Ada Apa?
Kerusakan ekosistem Karimun Jawa
Batu bara dari Kalimantan Timur kemudian diangkut dengan menggunakan kapal tongkang ke beberapa kawasan, termasuk Jawa dan Bali.
Dalam perjalanannya, kapal pengangkut batu bara kerap kali melewati kawasan Karimun Jawa, yang merupakan kawasan Taman Nasional.
“Mereka selalu lalu-lalang setiap minggu berdekatan dengan tempat kami, sehingga ekosistem terumbu karang terganggu”, ujar Ilyas, salah satu warga Karimun Jawa yang menjadi narasumber dalam acara nonton bareng yang diselenggarakan pihak WatchDoc, Greenpeace, serta Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Kapal tongkang ini membawa permasalahan bagi ekosistem sekitar. Jangkar kapal seringkali tertambat pada terumbu karang, belum lagi tumpahan batu bara yang tercecer ke lautan.
Ilyas juga menambahkan bahwa pada musim penghujan, kapal tersebut bahkan singgah dan ditinggalkan begitu saja tanpa alasan jelas, sehingga merusak dermaga lokal yang memiliki kapasitas kecil.
Konflik PLTU Batang
Selain Karimun Jawa, lokasi lain yang menjadi sorotan adalah PLTU Batang.
Keberadaan PLTU di kawasan Batang ini menimbulkan banyak masalah beruntun yang dialami masyarakat sekitar.
Bermula dari sengketa lahan dengan para petani, masyarakat kemudian melakukan beberapa gelombang perlawanan terhadap pembangunan PLTU. Namun, upaya kriminalisasi yang ditenggarai dilakukan terhadap pimpinan aksi membelah masyarakat menjadi kubu yang bertentangan.
Hal ini memicu konflik horizontal yang berkepanjangan di masyarakat sekitar antara kubu pro dan kontra PLTU.
Usman, warga Batang yang juga hadir sebagai narasumber, mengemukakan bahwa konflik ini menghasilkan hukum adat baru dimana jika salah seorang anggota kubu pro meninggal maka jenazahnya tidak diizinkan dimakamkan di area sekitar.
Setidaknya, tercatat telah terjadi tiga kali regenerasi aksi perlawanan terhadap keberadaan PLTU Batang. Namun, aksi ini nampaknya belum membuahkan hasil.
“Yang bisa kami lakukan hanyalah membuat PLTU ini berjalan lebih lambat, entah sampai kapan”, ujar Usman.
Baca juga: Penambahan PLTU Batubara Bisa Sebabkan Kematian Dini Meningkat Drastis
Nasib penduduk sekitar PLTU
Keberadaan PLTU juga berdampak negatif pada masyarakat lokal di kawasan lain.
Di Celukan Bawang, Buleleng, Bali, konflik sengketa lahan dengan petani kelapa serta nelayan masih berlangsung hingga saat ini.
Sedangkan di Palu, Sulawesi Tengah, pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ditimbun di sekitar area pemukiman serta abu terbang (fly ash) yang berseliweran mengancam kesehatan warga.
Warga setempat mengeluhkan infeksi saluran pernapasan yang diderita semenjak beroperasinya PLTU. Salah satu warga mengidap kanker nasofaring, diduga akibat paparan limbah B3 serta bahan berbahaya lain yang terkandung dalam abu terbang.
Namun hingga kini, belum ada upaya atau studi yang menjawab permasalahan tersebut.
Film dokumenter ini dibuat untuk menyuarakan penderitaan yang dialami warga yang terkena dampak PLTU, terutama ditujukan kepada para pembuat kebijakan, para elit politik yang memiliki kepentingan di balik bisnis tambang batu bara, serta masyarakat perkotaan yang menikmati listrik tanpa mengetahui tragedi dibaliknya.
Dengan adanya film ini, diharapkan regulasi pertambangan batu bara akan diperketat, serta dapat mendorong agenda pemanfaatan energi alternatif yang bersih dan berkelanjutan.
Baca juga: Pakar Sebut Hanya Ada Satu Jenis Energi yang Bisa Selamatkan Bumi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.