KOMPAS.com - Jantan dan betina ternyata merasakan sakit dengan cara yang berbeda. Hal ini pertama kali diketahui dari hasil riset peneliti McGill University di Montreal, Kanada, Robert Sorge dan Jeffrey Mogil saat mengamati perilaku mencit.
Dengan menggunakan rambut halus yang ditusukkan pada telapak kaki mencit, Sorge menemukan bahwa mencit jantan sangat sensitif, sedangkan mencit betina sama sekali tidak merespon.
Rasa sakit timbul saat sensor saraf yang terletak di kulit, otot, sendi, atau organ menangkap sensasi yang berpotensi membahayakan, seperti panas atau kerusakan jaringan. Sensasi kemudian dihantarkan dalam bentuk impuls, melewati saraf periferal menuju sistem saraf pusat, yang selanjutnya mengintrepretasikannya menjadi rasa sakit yang kita kenal.
Studi lebih lanjut yang dilakukan oleh Sorge dan koleganya mengungkap bahwa jantan dan betina merespon sakit dengan cara yang beda karena punya jalur rasa sakit yang berbeda juga, paling tidak pada mencit.
Mencit jantan, sensitivitas terhadap rasa sakit bergantung pada microglia, sel imun yang terdapat di spinal cord. Sementara pada mencit betina, rasa sakit diatur oleh jenis sel imun lain, sel T.
Penelitian yang sama juga menemukan bahwa mencit jantan yang tidak memiliki testosteron akan berganti jalur rasa sakit menjadi seperti betina; begitu pula pada mencit betina yang tidak memiliki sel T, yang akan merespon rasa sakit layaknya jantan normal.
Riset itu menunjukkan, jalur rasa sakit tidak hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin, tapi juga hormon, terutama testosteron dan estrogen, yang bertanggung jawab atas perbedaan karakteristik seksual sekunder pada pria dan wanita.
Perbedaan jalur saraf antara pria dan wanita ini dapat berpengaruh pada efektivitas kerja obat tertentu bergantung pada kondisi hormonal individual.
Salah satu peneliti lain yang berkutat dalam riset mengenai perbedaan sensitivitas rasa sakit pada pria dan wanita adalah Anne Murphy, neurosaintis dari Georgia State University, Georgia. Murphy menemukan bahwa wanita membutuhkan dosis morphine (obat pereda nyeri) yang lebih tinggi agar dapat merasakan efek yang sama seperti pada pria.
Baca juga: Penelitian Baru: Bahaya Ganja Pada Otak Remaja Dilebih-lebihkan
Berdasarkan hasil temuan ini, diharapkan studi lanjutan akan merevolusi penggunaan obat-obatan menuju personalized treatment, dimana penggunaan obat akan bervariasi sesuai dengan kondisi spesifik tiap individu.
“Kita berharap untuk dapat mengembangkan obat pereda nyeri yang dapat bekerja secara spesifik bergantung pada jenis kelamin penderita, namun perkara jenis kelamin partisipan studi dan subjek hewan ditentukan oleh aspek etika dan regulasi pemerintah”, jelas Iain Chessel, neurosaintis dari AstraZeneca, Cambridge, seperti dikutip Nature, Rabu (27/3/2019).
Pada uji klinis awal, dimana keselamatan menjadi fokus utama, wanita yang berpotensi mengalami kehamilan tidak diperbolehkan untuk ikut serta, sehingga pengujian dilakukan pada pria atau wanita pasca menopause.
Hasilnya, tidak ada informasi mengenai pengaruh obat terhadap wanita sehat pra menopause. Diharapkan dengan adanya perubahan regulasi, tanpa menelantarkan aspek etika, penelitian lanjutan dan uji klinis dapat dilakukan agar memperoleh temuan baru untuk pengembangan personalized treatment yang lebih efektif.
Baca juga: Bagaimana Posisi Tidur yang Tepat agar Asam Lambung Tidak Kumat?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.