Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Awas pada Tibi, Pembunuh Sadis Dekat Kita

Kompas.com - 23/03/2019, 09:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP tahun tidak kurang dari 100.000-an orang terbunuh di Indonesia. Pembunuhnya bukan teroris kayak lelaki yang memberondong jemaah di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Jumat 15 Maret lalu, tetapi "makhluk halus" yang amat kejam.

Bukan cuma halus, dia malah teramat lembut, sangat kecil, tidak kelihatan mata. Namanya Tibi, lengkapnya Mycobacterium tuberculosis – penyebab infeksi TB (atau TBC) yang secara diam-diam dan senyap menggerogoti paru-paru dan organ tubuh lain anak-anak dan orang dewasa di kota dan desa, sehingga mereka meninggal sia-sia.

Gawatnya lagi, sebelum meninggal, selama setahun biasanya korban dapat menulari 10 sampai15 orang lain yang berada di sekitarnya.

Sudah lama sebenarnya Indonesia dan banyak negara berkembang lain menjadi tempat Tibi menggali kuburan jutaan orang.

Angka 100.000 per tahun di atas merupakan kalkulasi logis, mengingat bahwa pada tahun 2016, sebagaimana ditulis Kompas Januari 2018, terdapat 274 kasus kematian per hari di Indonesia.

Bila data pada 2019 memperhitungkan bahwa angka kematian akibat tuberkulosis di Indonesia adalah 40/100.000 populasi, berarti dengan populasi 267-an juta penduduk, ancaman kematian itu pada 2019 ini paling sedikit akan menimpa sekitar 106.800 jiwa.

Data yang ada memang mesti terus diuji ulang dan diverifikasi sebab data dari sebuah sumber bisa tidak sinkron dengan data dari sumber lain.

Misalnya, menurut situs Kementerian Kesehatan bertanggal Maret 2018, berdasarkan laporan WHO 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus TB di Indonesia. Namun (sayangnya), yang terlaporkan ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus.

 

Bagaimanapun, yang penting adalah bahwa di dunia sendiri saat ini, menurut Wikipedia, diperkirakan seperempat penduduk dunia terinfeksi TB, dan itu terus bertambah, sebab setiap tahun terjadi infeksi baru pada sekitar satu prosen penduduk dunia.

Pada 2017, terdapat lebih dari 10 juta kasus TB aktif, yang menyebabkan kematian sekitar 1,6 juta jiwa di dunia, di mana 370.000-an orang di antaranya adalah pada mereka yang menderita HIV/AIDS.

Ini menjadikan TB penyebab kematian akibat penyakit menular (infeksi) nomor wahid di dunia. Penyebab kematian lain yang tak kalah penting adalah penyakit jantung iskemik dan penyakit pembuluh darah otak (serebrovaskuler); tetapi keduanya bukan penyakit (infeksi) menular.

Lebih dari 95 persen kematian itu terjadi di negara-negara berkembang, dan lebih dari 50 persen berada di India, China, Indonesia, Pakistan, dan Filipina.

Organ yang paling banyak (sekitar 85 persen) diserang kuman TB adalah paru-paru, dengan gejala utama batuk berdahak lebih dari dua minggu.

Jika kuman itu meroyak, napas penderita terasa sesak, lalu disusul batuk disertai darah akibat pecahnya pembuluh darah pernafasan.

Gejala lain, misalnya, adalah berat badan menurun dan muncul keringat pada malam hari. Organ lain yang juga dapat diserang TB adalah jantung, ginjal, dan tulang.

Syukurlah, Indonesia sendiri telah melakukan upaya pengendalian tuberkulosis yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, antara lain melalui kegiatan program TB lintas sektoral (termasuk dengan menggandeng korporasi, sekolah, dan komunitas).

Hal itu penting, berhubung TB memang bukan hanya masalah tenaga kesehatan, melainkan masalah kita semua.

Harus diakui sudah banyak kemajuan yang dicapai Indonesia, tetapi kita tetap harus prihatin, mengingat bahwa jumlah kasus TB baru di Indonesia menyebabkan kita masih menduduki peringkat ke-3 di dunia, sehingga masalah ini masih merupakan salah satu tantangan terbesar kita hadapi.

Kemenkes RI Prevalensi TBC Menurut Karakteristik Umur, Pendidikan, dan Sosial Ekonomi

Ancaman TB pada kaya dan miskin

Sebagian orang mungkin menganggap TB hanya menyerang orang miskin. Salah.

Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014 yang dilansir Kementerian Kesehatan, tidak ada perbedaan angka kesakitan TBC pada berbagai kelompok sosial-ekonomi masyarakat kita.

Mereka yang ada di kelompok terbawah hingga kelas menengah atas menunjukkan angka yang sama tingginya. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas.

Artinya, risiko penyakit yang sampai saat ini masih menjadi epidemi di dunia itu dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi, miskin dan kaya.

Itu sebabnya masyarakat luas perlu turut serta memberantas penyakit kronis ini. Itu sebabnya setiap tahun kita peringati Hari TB Sedunia yang jatuh setiap 24 Maret, merujuk hari ketika Dr Robert Koch mengumumkan penemuan Mycobacterium tuberculosis, kuman jenis "batang" (bacillus) yang menyebabkan penyakit tuberkulosis pada 24 Maret 1882. (Berkat penemuannya itu, Koch memperoleh hadiah Nobel untuk fisiologi kedokteran pada tahun 1905)

Dalam rangka peringatan Hari TB Sedunia itu, pada 25 Maret akan diselenggarakan talkshow tentang TB di Erasmus Huis, Jakarta.

Di samping talkshow yang menghadirkan narasumber yang berhasil melibatkan komunitas dalam penanggulangan TB, juga terdapat pameran "Story of Hope" yang menggambarkan penanggulangan TB oleh "Challenge TB", sebuah project lima tahun dari lembaga bantuan kerjasama Amerika, USAID.

Ada beberapa alasan mengapa TB harus diberantas. Pertama, karena ia menular secara mudah, melalui udara yang terkontaminasi kuman dan menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan sarana publik lainnya.

Riuhnya transportasi dan perpindahan penduduk membuat TB menjadi ancaman serius, sementara kasus yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistensi obat.

Perkara resistensi obat itu penting dicatat. Para penderita TB reguler, biasanya dianjurkan minum setidaknya 4 jenis obat dalam bentuk fixed dosed combination (FDC) atau yang dikemas menjadi 1 tablet selama enam (6) bulan berturut-turut.

Sementara itu, bagi mereka yang kebal pada cara pengobatan reguler itu (baik yang kebal pada rifampisin ataupun yang multidrug resistant), selain mendapatkan obat oral sebanyak enam jenis selama 9-20 bulan, mereka juga harus disuntik.

Bila cara di atas masih juga tidak berhasil, pasien-pasien itu digolongkan sebagai TB extensively drug resistant. Ini jenis pasien yang paling "menderita", sehingga mereka harus mendapatkan treatment suntikan dan minum enam jenis obat selama 24 bulan.

Walhasil, mencegah memang selalu lebih baik dari mengobati. Di antara langkah pencegahan utama dan paling penting adalah mengimunisasi semua bayi usia di bawah tiga bulan dengan vaksin BCG (yang tersedia di seluruh Nusantara).

Selain itu, masyarakat dianjurkan menerapkan cara hidup bersih dan sehat, seperti tidak merokok, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi, memastikan sinar matahari dan sirkulasi udara yang baik di rumah, menjemur alas tidur, olahraga teratur, dan istirahat yang cukup.

Pada saat batuk, kita dianjurkan menggunakan masker (terutama saat berada di keramaian), menutup hidung dan mulut dengan tisu, sapu tangan atau lengan, dan mencuci tangan dengan sabun.

Bila itu tidak dilakukan, jangan salahkan bila Anda tertular kuman Tibi itu, atau, jika Anda salah seorang penderita maka bukan mustahil Anda jadi sebab penularan pada 10-15 orang lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com