KOMPAS.com - Setiap hari, terjadi gempa bumi di seluruh dunia. Kadang kala, gempa-gempa itu merenggut ratusan hingga jutaan nyawa.
Salah satu faktor yang menentukan keselamatan banyak orang tersebut adalah sistem peringatan dini. Bahkan, perbedaan hitungan detik dalam sistem peringatan dini tersebut bisa menentukan hidup dan mati.
Untuk terus menemukan sistem deteksi gempa terbaik, para ilmuwan tidak berhenti bereksperimen. Di antara sekian banyak peneliti, para ilmuwan dari Univeritas Tokyo baru saja menemukan sistem deteksi gempa bumi terbaru.
Teknik yang mereka gunakan adalah mengeksploitasi sinyal gravitasi galus yang bergerak di depan getaran. Teknik ini diharapkan bisa meningkatkan sistem peringatan dini gempa bumi di masa depan.
Baca juga: Gempa Hari Ini: M 5,5 di Aceh Singkil dan Nias, Apakah Berpotensi Tsunami?
Penelitian terbaru itu bermula dari keresahan para ilmuwan terhadap jumlah korban jiwa pada gempa bumi Tohoku 2011.
Meski telah lewat bertahun-tahun, para peneliti masih menambang data untuk menemukan cara baru mendeteksi gempa.
Semuanya berawal ketika profesor rekanan Lembaga Penelitian Gempa Bumi (ERI), Shingo Watada yang membaca sebuah makalah fisika yang ditulis oleh J. Harms dari Istituto Nazionale di Fisica Nucleare di Italia.
Makalah ini menyebutkan gravimeter, alat sensor yang mengukur kekuatan gravitasi lokal, secara teoretis dapat mendeteksi gempa bumi.
"Ini membuatku berpikir, jika kita memiliki cukup data seismik dan gravitasi dari waktu dan tempat terjadinya gempa besar, kita bisa belajar mendeteksi gempa bumi dengan gravimeter dan seismometer," kata Watada dikutip dari Science Daily, Senin (11/03/2019).
"Ini bisa menjadi alat penting untuk penelitian fenomena seismik di masa depan," tegasnya.
Idenya adalah gempa bumi terjadi ketika titik di sepanjang tepi lempeng tektonik yang terdiri dari permukaan bumi membuat gerakan tiba-tiba. Hal ini menghasilkan gelombang seismik yang memancar dari titik itu pada 6-8 kilometer per detik.
Gelombang-gelombang ini mentransmisikan energi melalui bumi dan dengan cepat mengubah kepadatan bahan bawah permukaan yang mereka lewati. Material padat memberi daya tarik gravitasi yang sedikit lebih besar daripada material yang kurang padat.
Ketika gravitasi merambat dengan kecepatan cahaya, gravimeter yang peka dapat mengambil perubahan-perubahan ini dalam kepadatan sebelum kedatangan gelombang seismik.
Baca juga: Goncangan Gempa Lombok 2018 Fluktuatif dan Tidak Lazim
"Ini adalah pertama kalinya seseorang menunjukkan sinyal gempa definitif dengan metode seperti itu. Yang lain telah menyelidiki gagasan itu, namun belum menemukan sinyal yang dapat diandalkan," kata Masaya Kimura, salah satu peneliti ERI.
"Pendekatan kami unik karena kami memeriksa berbagai sensor aktif selama gempa bumi 2011. Dan kami menggunakan metode pemrosesan khusus untuk mengisolasi sinyal gravitasi tenang dari data bising," sambungnya.
Jepang terkenal sangat aktif secara seismik sehingga tidak mengherankan ada jaringan luas instrumen seismik di darat dan di laut di wilayah tersebut.
Para peneliti menggunakan berbagai data seismik dari ini dan juga superkonduktor gravimeter (SGs) di Kamioka, Prefektur Gifu, dan Matsushiro, Prefektur Nagano, di Jepang tengah.
Analisis sinyal yang mereka lakukan sangat andal dalam menilai apa yang oleh para ilmuwan disebut akurasi 7-sigma. Artinya, hanya ada satu-dalam-satu-triliun peluang hasilnya salah.
Fakta ini sangat membantu untuk membuktikan konsep dan akan berguna dalam kalibrasi instrumen masa depan yang dibangun khusus untuk membantu mendeteksi gempa bumi.
Associate Profesor Masaki Ando dari Departemen Fisika menemukan jenis gravimeter baru - antena batang torsi (TOBA) - yang bertujuan menjadi yang pertama dari instrumen tersebut.
"SG dan seismometer tidak ideal karena sensor di dalamnya bergerak bersama dengan instrumen, yang hampir membatalkan sinyal halus dari gempa bumi," jelas Profesor rekanan ERI, Nobuki Kame.
"Ini dikenal sebagai lift Einstein, atau prinsip kesetaraan. Namun, TOBA akan mengatasi masalah ini. Ia merasakan perubahan dalam gradien gravitasi meskipun ada gerakan. Awalnya dirancang untuk mendeteksi gelombang gravitasi dari big bang, seperti gempa bumi di luar angkasa, tetapi tujuan kita lebih membumi," tambahnya.
Baca juga: Gempa Solok Bukti Banyak Percabangan Sesar Besar Sumatera Belum Terpetakan
Tim tersebut memimpikan jaringan TOBA yang didistribusikan di sekitar wilayah yang aktif secara gempa. Nantinya, jaringan ini membentuk sebuah sistem peringatan dini yang dapat memperingatkan orang-orang 10 detik sebelum gelombang guncangan pertama dari tanah tiba dari pusat gempa yang berjarak 100 km.
Banyak kematian akibat gempa bumi terjadi karena orang-orang terperangkap di dalam gedung yang runtuh. Bayangkan perbedaan yang bisa dihasilkan 10 detik.
Ini akan memakan waktu tetapi para peneliti terus berusaha memperbaiki model untuk meningkatkan akurasi metode untuk penggunaan akhir di lapangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.