KOMPAS.com - Diprotes oleh ratusan peneliti, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menyatakan bahwa lembaganya tetap akan melanjutkan rencana reorganisasi.
Namun demikian, eksekusinya akan diperbaiki dengan membentuk tim untuk mengevaluasi kebijakan reorganisasi, terdiri dari pihak yang pro dan kontra dengan program tersebut.
"Reorganisasi tetap jalan terus, tetapi kita akan bentuk tim evaluasi untuk memperbaiki eksekusinya," kata Handoko menegaskan.
Keputusan pembentukan tim evaluasi dilakukan setelah aksi damai dan dialog yang dilakukan peneliti dengan Handoko dan sejumlah deputi selama hampir 3 jam pada Jumat (8/2/2019).
Dalam aksi damai, sejumlah peneliti mengeluhkan minimnya komunikasi kebijakan reorganisasi dan menilai bahwa Handoko otoriter.
"Kita berkumpul di sini menunjukkan adanya masalh krusial, tersumbatnya jalur komunikasi. Tidak perlu ada demo di luar jika komunikasi berjalan baik," kata Dewi Fortuna Anwar, peneliti politik LIPI.
Periset muda dari Pusat Penelitian Politik LIPI yang sayangnya enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa kebijakan reorganisasi berjalan tanpa dasar.
"Kita ini lembaga riset. Kalau memang kita perlu reorganisasi, seharusnya kita lakukan dulu kajiannya jadi kita bisa tahu apa yang mau kita capai," katanya.
Sejarawan LIPI Asvi Wanmar Adam mengungkapkan bahwa lembaganya pernah mengalami dua kali reorganisasi tetapi keduanya berlangsung secara inklusif dan partisipatif.
"Dua reorganisasi sebelumnya berjalan mulus. Namun yang terjadi sekarang adalah keresahan karena tidak dilakukan secara kolegial," ungkapnya.
Baca juga: Gonjang-ganjing Dunia Peneliti, Membedah Reorganisasi LIPI
Aksi damai dihadiri oleh mantan kepala LIPI Lukman Hakim dan Taufik Abdullah. Total peserta aksi mencapai lebih dari 150 orang.
Dalam dialog yang diadakan setelah aksi, tuntutan sempat melebar hingga meminta Handoko untuk mundur dari jabatannya sebab dinilai hanya pantas menjadi peneliti.
Namun di akhir dialog, tuntutan mulai fokus. Peneliti serangga parasitoid Rosichon Ubaidillah menyampaikan 5 tuntutan utama.
5 tuntutan itu adalah menghentikan sementara reorganisasi, membentuk tim evaluasi, mengkaji ulang kebijakan reorganisasi dengan seluruh warga LIPI, membangun desain LIPI dengan tahapan yang jelas, serta mengembalikan struktur LIPI seperti semua selama pengkajian ulang reorganisasi.
Handoko sempat menolak usulan penghentian sementara reorganisasi serta pengembalian struktur seperti semula. Namun setelah didesak oleh Dewi Fortuna Anwar, Handoko menyetujui dengan catatan bahwa dua poin itu akan didiskusikan bersama tim evaluasi.
Dinilai Tetap Diperlukan
Dalam rencana reorganisasi, Handoko bermaksud membuat LIPI fokus sebagai lembaga riset.
Salah satu kebijakannya adalah membuat layanan satu atao untuk administrasi sehingga peneliti bisa bebas dari beban tersebut.
Kebijakan lainnya adalah membuka fasilitas LIPI untuk peneliti dari lembaga lain sehingga meningkatkan potensi kolaborasi dan publikasi.
Peneliti otonomi daerah Syarif Hidayat mengkritik, reorganisasi yang bermaksud membuat LIPI fokus sebagai lembaga riset akan mereduksi peran LIPI.
Menurutnya, LIPI adalah lembaga ilmu pengetahuan, bukan lembaga riset. Peran LIPI tidak hanya meneliti tetapi juga memberikan rekomendasi kebijakan.
Salah satu contoh, Pusat Penelitian Biologi tidak hanya berperan meneliti satwa liar tetapi juga memberi rekomendasi soal pembatasan penangkapan dan perburuan satwa tersebut.
Syarif menegaskan, "Kami bukan antireformasi. Bukan kami menentang kebijakan reorganisasi dan redistribusi LIPI. Kami juga tidak gagal paham."
Pada dasarnya, Syarif setuju dengan reorganisasi. "Tetapi reorganisasi dan redistribusi yang menjami tegaknya marwah LIPI secara utuh."
Ilmuwan diaspora Indonesia di Singapura yang juga pernah berkarya di LIPI, Danang Birowosuto, mengungkapkan bahwa LIPI masih kurang efisien sehingga reorganisasi tetap diperlukan.
Baca juga: Rombongan Peneliti LIPI Bertepuk Tangan Dengar Pimpinannya Diusulkan Dicopot
Menurut Danang, Pusat Penelitian Nasional Perancis (CNRS) pun memiliki struktur yang mirip dengan gagasan Handoko.
CNRS memiliki kantor pusat yang ada di Paris sementara penelitinya tersebar di berbagai pusat dan bahkan universitas.
Danang yang juga punya pengalaman bekerja di CNRS International NTU Thales Research Alliance mengatakan, peneliti lembaga itu punya kewajiban meneliti, bahkan mengajar.
"Di Universite de Lille, ada lab CNRS untuk mikroelektrik. Peneliti membantu profesor di universitas dalam riset dan mereka juag jadi co-pembimbing langsung. Sehari-hari mereka ke universitas," ungkapnya.
Dengan track record mengajar, meski pensiun di usia 55 tahun seperti digagas dalam aturan pemerintah yang baru, peneliti dapat melanjutkan karir sebagai dosen.
Dewi Fortuna mengungkapkan, banyak pemikiran Handoko dalam kebijakan reorganisasi yang bagus. Namun sebelum diimplementasikan perlu didiskusikan.
Ekonom LIPI Maxentius Tri Sambodo, proses reorganisasi mencabik-cabik LIPI sehingga tidak memungkinkan untuk menumbuhkan semangat kolaborasi. "Proses ini banyak kekurangan, ayo kita benerin," katanya.
LIPI menjadi lembaga ilmu pengetahuan kebanggaan Indonesia. Dengan anggaran riset hanya 2 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), lembaga itu mampu menghasilkan riset berdampak seperti temuan tawon Garuda hingga jejak gempa di selatan Jawa.
Bukan hanya kesatuan LIPI yang perlu dipertahankan. Lembaga ini perlu lebih maju. Peneliti LIPI, bukan hanya yang kontra, perlu bersuara terkait reorganisasi.
Baca juga: Datang ke DPR, Rombongan Peneliti Keluhkan Kepala LIPI yang Baru
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.