KOMPAS.com - Tsunami Selat Sunda yang berlalu hampir dua pekan menghadirkan sebuah fenomena baru. Fenomena ini terkait dengan banyaknya laporan gigitan ular di wilayah Pandeglang.
Menurut situs resmi Kemenkes, tercatat 14 kasus gigitan ular dari 22-31 Desember 2018. Banyaknya kasus yang terjadi menimbulkan pertanyaan, mengapa terjadi peningkatan serangan ular pasca-tsunami?
Untuk menjawab hal itu, Kompas.com menghubungi ahli reptil LIPI Amir Hamidy.
"Kita harus tahu dulu jenis ularnya, karena kan ular itu tipikal habitatnya beda-beda," ujar Amir melalui sambungan telepon.
Baca juga: Pasca-Tsunami Selat Sunda, Muncul Kasus Gigitan Ular di Pandeglang
Amir mengaku belum mengetahui jenis ular yang menyerang pasca-tsunami tersebut. Untuk itu, dia menjelaskan bahwa mungkin kurang detail dalam memberi keterangan.
Meski begitu, Amir menjelaskan bahwa fenomena munculnya ular pasca-bencana sebenarnya hal yang normal.
"Kalau misalnya ada kerusakan atau perubahan lingkungan karena tersapu ombak kemudian membuat hewan keluar dari tempat persembunyiannya itu wajar," kata Amir.
"Mau banjir, mau air laut. Tapi kalau air laut, ular itu akan menghindari karena kan (menggandung) garam," imbuhnya.
Dia juga menambahkan, garam sebenarnya tidak terlalu efektif dalam mengusir ular.
"Tapi ular itu menghindari air laut, kecuali ular yang bisa berenang," ucap herpetolog tersebut.
"Bisa jadi, ini karena reaksi tsunami atau air laut yang naik ke daratan," sambungnya.
Meski memberi keterangan tersebut, Amir menyampaikan bahwa harus dilihat dulu apakah jenis ular yang menyerang.
"Bisa jadi, itu adalah ular laut yang terbawa kedaratan lalu saat ombak balik tidak ikut kembali," kata Amir
"Atau memang ular-ular di sekitar pantai, yang istilahnya memang sudah ada di situ tapi habitatnya terbasuh air laut kemudian keluar. Dan imbasnya konflik dengan manusia," tambahnya.
Amir kembali menegaskan bahwa ini merupakan fenomena alam yang biasa dan tidak perlu dihebohkan.