KOMPAS.com - Sesar Lembang telah lama menjadi misteri dan perbincangan para ahli. Setelah melakukan studi selama hampir delapan tahun, ahli LIPI akhirnya menerbitkan studi tentang sesar Lembang di jurnal Tectonophysics, 17 Desember 2018.
Studi terbaru ini mengulas sesar lembang yang lebih terperinci dibanding studi sebelumnya.
Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut studinya memaparkan detail morfologi gempa bumi sesar Lembang.
"Kita memberikan definisi yang jelas. Kalau sesar aktif dia harus ada bentuk jelas di lapangan," ujarnya dihubungi Kompas.com, Rabu (3/1/2018).
Baca juga: Prediksi Ahli tentang Dampak Gempa Sesar Lembang pada Cekungan Bandung
Gambaran atau bentuk yang jelas di lapangan ditunjukkan lewat pergeseran sungai, pemotongan sungai, bukit yang terangkat karena gempa tektonik.
"Bukti-bukti itu kita paparkan dengan jelas di paper ini," ujarnya.
Penelitian dan temuan
Proyek yang mulai dikerjakannya sejak 2011 itu tidak melakukan pemodelan, tapi membandingkan dan mengukur data dari studi sebelumnya, untuk menghasilkan perhitungan terperinci.
"Itu tidak dimodelkan, jadi kita hitung pakai studi paleoseismology (mengamati sedimen dan bebatuan geologis untuk menilik tanda gempa bumi purba, red) dan kita meneliti publikasi sebelumnya," ujar Mudrik.
Salah satu studi yang berkontribusi dalam penelitian Mudrik adalah kajian vulkanostratigrafi sesar Lembang yang dibuat oleh Kartadinata.
Vulkanostratigrafi merupakan ilmu yang mempelajari urutan dari rekaman kegiatan vulkanik dengan pemahaman satuan vulkanostratigrafi, yaitu satuan–satuan lapisan yang terpetakan terdiri dari batuan vulkanik yang terbentuk di darat (subaerial) atau di dalam air (subaqueous) oleh proses vulkanik yang penentuannya berdasarkan sumber, jenis litologi, dan genesanya.
Mudrik mengatakan, studi vulkanostratigrafi yang dikajinya menjelaskan tentang set unit batuan dan umurnya.
"Kemudian saya mempelajari lebih detail lagi mengenai pergeseran-pergeseran sungai. Dari situ kita menemukan jarak geser dan umur yang sudah diteliti sebelumnya. Terus kemudian kita bagi itu, (pergeseran) jarak dan umur (batuan) kita ketemu kecepatan atau slip rate-nya," imbuhnya.
Slip rate sesar Lembang diketahui sebesar 1,95 sampai 3,45 milimeter per tahun.
Sesar lembang yang membentang sejauh 29 kilometer itu bisa menghasilkan gempa bumi dengan kekuatan 6,5 sampai 7,0.
Panjang sesar itu dihitung dengan rinci oleh Mudrik dan tim dari ujung sebelah barat sampai ujung sebelah timur.
Batas ujung sebelah barat dimulai dari daerah Padalarang, Ngamprah, Cisarua, Parongpong, Lembang, Gunung Batu, Maribaya, Batu Lonceng, kemudian tanda sesar aktif menghilang di sekitar Palintang.
"Dan dia (sesar Lembang) memiliki periode ulang antara 170 tahun sampai 670 tahun," sambungnya menjawab pertanyaan yang selama ini belum terjawab.
Hingga saat ini, Mudrik dan timnya baru menemukan tiga catatan gempa tua di sesar Lembang, yakni di abad ke-15, 60 SM, dan 19.600 tahun yang lalu.
"Kita baru tahu tiga sejarah ini. Kalau kita mau tahu lebih lagi, kita harus teliti lebih dalam lagi," sambungnya.
Dari ketiga jejak gempa itu, hanya gempa pada 60 SM yang dapat diungkap berapa kekuatannya. Menurut catatan Mudrik, gempa saat itu berkekuatan 6,5.
"Jadi (studi) kita masih sangat kasar sekali karena kita berhadapan dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, erosi, dan lain sebagainya. Semua itu memberikan tantangan sendiri untuk melakukan penelitian paleoseismology di Indonesia, khususnya di daerah tropis," sambungnya.
Baca juga: Menguak Sesar Lembang, Seberapa Dahsyat Bisa Guncang Bandung?
Mudrik mengharapkan setelah diterbitkannya studi terbaru tentang sesar Lembang akan ada penanganan yang lebih serius untuk meneliti lebih dalam dari yang saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.